Grace and Truth

This website is under construction !

Search in "Indonesian":
Home -- Indonesian -- 19-Good News for the Sick -- 004 (Sin and Sickness)
This page in: -- English -- French -- Hausa -- Igbo -- INDONESIAN -- Somali -- Yoruba

Previous Chapter -- Next Chapter

19. Kabar Baik bagi Mereka yang Sakit
BAGIAN 1 - PENYAKIT DAN PENDERITAAN
1. ASAL MULA DAN DIAGNOSIS DARI PENDERITAAN

A. Dosa dan Penyakit


Dalam arti tertentu, penyakit dan bahkan kematian adalah konsekuensi langsung dari tindakan dosa dan sifat dosa manusia. Semua orang berdosa dan oleh karena itu menderita warisan dosa berupa penyakit dan kematian. Apakah Anda mengenal seseorang yang secara natur bebas dari dosa, penyakit dan kematian?

Namun, dosa setiap orang tidak harus mengakibatkan penyakit; kita juga tidak dapat menyimpulkan bahwa murid-murid Yesus sang Mesias tidak menderita penyakit karena hidup mereka bebas dari dosa. Maka Yesus dengan jelas menyatakan bahwa kebutaan orang yang disembuhkan-Nya di Yerusalem bukanlah akibat langsung dari dosa, baik dosa orang itu sendiri maupun dosa orangtuanya (Yohanes 9:1-3). Demikian juga Lazarus, seorang sahabat Yesus, meninggal setelah menderita sakit yang singkat. Penyakitnya juga tidak disebabkan oleh perbuatan dosa (Yohanes 11:4). Dalam kedua contoh ini, Yesus menyatakan bahwa orang-orang ini menderita bukan karena dosa pribadi, tetapi karena melalui penderitaan mereka, Allah dimuliakan.

Dan apakah Anda ingat penderitaan Ayub? Teman-teman Ayub mengira bahwa Ayub menderita karena dosa pribadinya. Asumsi mereka ternyata salah.

Alkitab mencatat dua kasus di mana Yesus mengaitkan penyakit dengan dosa. Dalam kasus orang lumpuh, dosanya diampuni terlebih dahulu (Matius 9:2). Dalam kasus orang lumpuh di kolam Betesda, Yesus menyembuhkannya bahkan sebelum ia mengakui dosanya (Yohanes 5:1-15).

Setiap kali Yesus mengaitkan penyakit dengan dosa, Dia mengampuni orang berdosa dan memintanya untuk tidak berbuat dosa lagi. Namun, tidak pernah sekalipun Dia mengidentifikasi dosa sebagai penyebab penyakit. Memang, mengaitkan penyakit atau penderitaan tertentu dengan dosa tertentu mungkin bertentangan dengan ajaran Yesus. Kebaikan tidak selalu dihargai dengan kemakmuran dan kebebasan dari rasa sakit; kejahatan juga tidak selalu dihukum dengan kesedihan dan penyakit. Sebaliknya, seperti yang telah disebutkan, Allah membuat matahari-Nya bersinar bagi orang yang baik dan orang yang jahat, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar (Matius 5:45). Jadi, mengaitkan penderitaan tertentu dengan dosa tertentu dan intensitas penderitaan yang sebanding dengan besarnya dosa tersebut bisa berbahaya. Faktanya, seperti yang dinyatakan dengan jelas dalam Alkitab: “Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” (Roma 3:23) Orang-orang kudus yang agung juga telah menderita kekerasan, penyakit dan kematian dini.

Dalam pemahaman Kristen, Allah tidak memulai atau menyebabkan penyakit, penderitaan, atau apa pun yang jahat. Paling-paling, Dia mengizinkan kejahatan untuk bekerja di dalam diri kita untuk sementara waktu, dan secara bersamaan menguasainya dan menggunakannya untuk membangun karakter kita, menguatkan iman kita, meningkatkan pengetahuan kita tentang Dia dan membawa kita lebih dekat kepada-Nya; atau kadang-kadang bahkan untuk menghajar kita seperti seorang ayah yang baik menghajar anaknya.

Namun, Kitab Suci mengingatkan kita akan “... TUHAN, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya, yang meneguhkan kasih setia-Nya kepada beribu-ribu orang, yang mengampuni kesalahan, pelanggaran dan dosa; tetapi tidaklah sekali-kali membebaskan orang yang bersalah dari hukuman, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya dan cucunya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat.” (Keluaran 34:6,7)

Ayat ini mengungkapkan kebenaran Alkitab yang mendasar bahwa Allah tidak pernah membiarkan orang yang bersalah tidak dihukum. Hukuman-Nya atas dosa bisa berupa penyakit dan dengan itu penderitaan dan kematian.

Setiap kali orang percaya mengalami sakit atau penderitaan, ia harus merenungkan hidupnya dan mengingat kembali kemungkinan adanya dosa yang belum diakui. Ketika ia yakin tidak ada dosa yang tidak diakui secara sadar yang masih tersisa dalam hidupnya, ia harus berdoa untuk kesembuhan, dengan menyadari bahwa Allah hanya akan mengabulkan apa yang memuliakan Dia dan bermanfaat bagi orang yang berdoa. Kemudian ia dapat dengan yakin menyerahkan masalah ini sepenuhnya kepada kehendak Allah.

Mari kita renungkan dua pernyataan dari Alkitab:

“Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” (1 Yohanes 1:9)

“... jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni. Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh.” (Yakobus 5:15,16)

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa meskipun semua penyakit mungkin bukan akibat langsung dari dosa pribadi, namun ketika dosa terlibat, dosa harus diakui sebelum Tuhan mengampuninya. Pengakuan dosa melibatkan pertobatan dan pertobatan berarti perubahan hati (lihat Mazmur 32:3-5, 11 tentang pengakuan Daud). Melalui pengakuan dan pertobatan kita serta pengampunan Allah, Allah Bapa Surgawi kita memulihkan persekutuan antara Dia dan kita. Seperti yang Alkitab katakan lebih lanjut kepada kita:

“Siapa menyembunyikan pelanggarannya tidak akan beruntung, tetapi siapa mengakuinya dan meninggalkannya akan disayangi.” (Amsal 28:13)

“Seandainya ada niat jahat dalam hatiku, tentulah Tuhan tidak mau mendengar. Sesungguhnya, Allah telah mendengar, Ia telah memperhatikan doa yang kuucapkan. Terpujilah Allah, yang tidak menolak doaku dan tidak menjauhkan kasih setia-Nya dari padaku.” (Mazmur 66:18-20)

Dosa yang tidak diakui menghalangi persekutuan kita satu sama lain (1 Yohanes 1:6,7). Meskipun Kitab Suci menganjurkan pengakuan dosa satu sama lain, hal ini tidak selalu berarti pengakuan dosa pribadi dan intim di depan umum (Yakobus 5:16). Kata “pengakuan” berarti “mengakui” atau “menyetujui”. Oleh karena itu, akan lebih baik jika karakter dan implikasi dari dosa tersebut menentukan seberapa terbuka seharusnya pengakuan dosa itu.

Jika dosa itu terhadap seorang individu, mungkin tidak perlu mengakuinya di depan umum atau di dalam sidang jemaat. Sebagai dosa pribadi, dosa tersebut dapat diakui secara pribadi. (bdk. Matius 5:23,24)

Jika dosa dilakukan terhadap suatu kelompok, maka dosa tersebut dapat diakui di hadapan kelompok tersebut.

Jika dosa tersebut tidak ditujukan kepada seseorang atau kelompok, melainkan hanya kepada Allah, maka dosa tersebut dapat diakui hanya kepada Allah. Meskipun pada akhirnya, semua dosa adalah melawan Allah (Mazmur 51:1-4), di sini ada perbedaan antara berdosa kepada Allah saja dan berdosa kepada orang lain dan juga kepada Allah.

Pengakuan dosa adalah hal yang bermanfaat, meskipun tidak selalu mudah. Pengakuan dosa dapat menjadi pencegah yang ampuh untuk tidak melakukan dosa lebih lanjut. Selain itu, tentu saja, hal ini dapat memberikan pembersihan dan kelegaan yang luar biasa, seolah-olah sebuah beban yang berat telah jatuh dari pundak.

“Dosaku kuberitahukan kepada-Mu dan kesalahanku tidaklah kusembunyikan; aku berkata: "Aku akan mengaku kepada TUHAN pelanggaran-pelanggaranku," dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku.” (Mazmur 32:5)

Di sisi lain, dosa yang tidak diakui sering kali membawa depresi jiwa, yang dapat menyebabkan penyakit jasmani. Tubuh dan jiwa memiliki hubungan yang sangat erat sehingga melepaskan beban jiwa yang bermasalah dapat menyebabkan kelegaan fisik. Dengan demikian, mengalami pengampunan dan kedamaian hati nurani yang bersih dapat memfasilitasi proses penyembuhan seluruh tubuh manusia.

www.Grace-and-Truth.net

Page last modified on August 31, 2024, at 08:16 AM | powered by PmWiki (pmwiki-2.3.3)