Home
Links
Contact
About us
Impressum
Site Map?


Afrikaans
عربي
বাংলা
Dan (Mande)
Bahasa Indones.
Cebuano
Deutsch
English-1
English-2
Español
Français
Hausa/هَوُسَا
עברית
हिन्दी
Igbo
ქართული
Kirundi
Kiswahili
മലയാളം
O‘zbek
Peul
Português
Русский
Soomaaliga
தமிழ்
తెలుగు
Türkçe
Twi
Українська
اردو
Yorùbá
中文



Home (Old)
Content (Old)


Indonesian (Old)
English (Old)
German (Old)
Russian (Old)\\

Home -- Indonesian -- 11-Presuppositional Apologetics -- 010 (Paul's use of apologetics)
This page in: -- Chinese -- English -- French? -- German -- INDONESIAN -- Russian -- Tamil -- Ukrainian

Previous Chapter -- Next Chapter

11. APOLOGETIKA PRESUPOSISIONAL
Bagaimana Mengungkapkan Kelemahan Mendasar dan Kebohongan Yang Tersembunyi Saat Iman Kristen Diserang
BAGIAN 2 - PENDEKATAN DASAR APOLOGETIKA PRESUPOSISIONAL
8. Contoh-contoh di Alkitab untuk apologetika presuposisional

b) Paulus menggunakan apologetika


Ada dua contoh yang penting dimana Paulus menggunakan apologetika di dalam kitab Kisah Para Rasul. Yang pertama terdapat di dalam Kisah 17:16-34, dimana kita melihat Paulus diberi kesempatan untuk berbicara di hadapan para filsuf Atena. Dia tidak memulainya dengan hal-hal yang netral sebagai dasar dari khobah tentang kebenaran Alkitab kepada orang-orang Yunani di sana, tetapi sejak awal khobahnya, dia sepenuhnya dan semata-mata hanya menyampaikan Firman Allah, walaupun dengan menggunakan konsep-konsep yang sebagian diilustrasikan dari literatur Yunani. Sehingga di satu sisi dia tidak menjawab orang-orang bodoh disana sesuai dengan kebodohan mereka, karena dia hanya mengkhobahkan Alkitab. Tetapi di sisi lain, Paulus menjawab orang-orang bodoh tersebut sesuai dengan kebodohan mereka, dengan mengutip dari para pujangga mereka yang terkenal berdasarkan budaya dan literatur mereka.

Paulus sangat tertekan melihat penyembahan berhala orang-orang Atena sehingga dia memberi waktunya untuk berdiskusi dengan siapa saja yang mau mendengarkannya (ayat 16). Kemudian kita diberitahu bahwa beberapa "filsuf Epikuros dan Stoa mulai bersoal-jawab dengannya" (ayat 18). Golongan filsuf-filsuf tersebut pastilah penting, jika tidak tentu Lukas tidak akan menyebutkannya.

Para filsuf Epikuros menganut "atomisme materialistis", yang merupakan doktrin mengenai semua realitas terdiri dari unsur-unsur material yang tidak dapat dihancurkan yang disebut atom yang bergerak melalui ruang hampa, kekosongan. Mereka juga percaya bahwa manusia tidak lebih dari kumpulan atom raksasa, yang hanya dapat berinteraksi dengan objek lain melalui tabrakan antar material atom. Bagi kaum Epikuros, pengetahuan hanyalah sebuah sensasi. Sensasi yang pada gilirannya tidak lebih dari tabrakan antar atom dan organ indera manusia. Secara etis kaum Epikuros menyakini kesenangan sebagai nilai yang tertinggi dan selayaknya diperjuangkan oleh manusia.

Kaum Stoa menyakini bahwa alam semesta pada dasarnya rasional. Mereka juga percaya nasib didasari oleh alam yang dikembangkan secara logis. Bagi kaum Stoa yang ada hanyalah materi, dan mereka menjadikan studi logika/matematika sebagai hal yang penting. Bagi mereka, kebajikan tertinggi adalah hidup selaras dengan alam.

Perhatikanlah bahwa pertemuan tersebut bukanlah pertemuan yang bersahabat dengan Paulus. Para filsuf mencap Paulus sebagai “σπερµολόγος” - seorang "pencatut ilmu", orang yang mengambil potongan-potongan pengetahuan, seorang penggosip, seorang peleter (ayat 18). Mereka membawa Paulus menghadap ke sidang (ayat 19). Penuturan Paulus sopan tetapi tidak untuk memuji keyakinan filosofis mereka. Dia dengan berani menyatakan kepada para ahli logika dan filsuf Atena bahwa mereka tidak mengetahui apa yang mereka sembah, berdasarkan dari pengamatannya bahwa mereka memiliki mezbah untuk Allah yang tidak dikenal (ayat 23). Ingat, Paulus berbicara dengan mereka yang menganggap diri sebagai filsuf besar dan ahli logika; jika mereka bijaksana seperti yang mereka pikirkan, mereka akan tahu bahwa, dengan menyatakan salah satu dewa mereka sebagai "allah yang tidak dikenal", Mereka mengakui bahwa mereka tidak tahu apa yang mereka bicarakan, ketika mereka berbicara tentang dewa dan penyembahannya.

Paulus melanjutkan dengan berbicara tentang kebenaran alkitabiah tentang ciptaan Allah (ayat 24a), yang bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh kaum Epikuros dan Stoa, keduanya tidak percaya pada penciptaan. Kaum Epikuros percaya bahwa dewa dan manusia terbuat dari hal yang sama dan oleh karena itu tidak ada yang bisa menciptakan yang lainnya, dan kaum Stoa percaya bahwa dewa-dewa tidak ada hubungannya dengan dunia, karena mereka tidak ada dan satu-satunya Allah yang ada adalah dunia itu sendiri.

Pernyataan Alkitabiah Paulus berikutnya tentang Allah tidak tinggal di kuil-kuil buatan tangan manusia (ayat 24b) harus dipahami dalam tatanan geografisnya. Ketika Paulus menyampaikan khobah ini, dia sedang berdiri di Areopagus di Atena, sementara dilatarbelakangi bukit, di mana orang-orang Yunani telah membangun Parthenon untuk menyembah dewa dan dewi mereka. Jadi pernyataan Paulus ini sebenarnya mencela apa yang dilakukan oleh orang-orang Atena di atas kuil mereka.

Setiap perkataan alkitabiah yang Paulus ucapkan bertentangan dengan ajaran para filsuf tersebut. Dia bahkan menunjukkan kepada mereka ketidakkonsistenan kepercayaan penyembahan berhala Yunani mengutip salah satu penyair mereka sendiri: Epimenides, yang merupakan orang dibalik inisiatif untuk mendirikan kuil allah yang tidak dikenal (Lihat: Diogenes Laertios, Life and Teachings of the Philosophers, 1.110). Banyak apologet Kristen berpikir bahwa Paulus di sini menggunakan landasan netral sebagai titik awal untuk berbagi pesan alkitabiah dengan mereka; tidaklah demikian. Puisi tulisan Epimenides, yang dikutip oleh Paulus (ayat 28), ditujukan kepada dewa Zeus dengan mengatakan:

“Mereka membuat sebuah makam untukmu, yang kudus dan tinggi,
Penduduk Kreta, selalu pembohong, binatang-binatang jahat, perut yang malas.
Namun, engkau tidak mati: engkau hidup dan tinggal selamanya,
Karena di dalammu kami hidup, bergerak, dan ada.”

Paulus, ketika dia mengutip kalimat terakhir dari bagian puisi tersebut, melakukannya bukan seperti untuk menyembah Zeus atau bahkan meyakini puisi itu. Dia hanya menunjukkan bahwa bahkan pujangga mereka sendiri tidak bisa lepas dari pengetahuan tentang Allah.

Teolog Kristen Ned Stonehouse menulis: "Konfrontasi dengan wahyu ilahi tidaklah tanpa efek pada pikiran mereka karena membawa mereka berhubungan dengan kebenaran, namun kebencian mereka terhadap kebenaran sangat kuat sehingga mereka menekan kebenaran itu dalam ketidakadilan (Roma 1:18). Dengan demikian, sambil mempertahankan perlawanan antara pengetahuan tentang Allah yang dinikmati oleh anak-anak-Nya yang ditebus dan keadaan ketidaktahuan yang ditandai oleh semua orang lain, Paulus dapat sepenuhnya menerima pemikiran bahwa orang kafir, terlepas dari diri mereka sendiri dan bertentangan dengan disposisi yang mempengaruhi pikiran mereka, sebagai ciptaan Allah yang dihadapkan dengan wahyu ilahi, mampu memberikan respons yang valid selama dan sejauh mereka berdiri dalam isolasi dari sistem pagan mereka. Dengan demikian, pikiran-pikiran yang dalam konteks pagan mereka sangat tidak Kristen dan anti-Kristen, dapat diakui sebagai sesuatu yang hingga batas tertentu melibatkan pemahaman yang sebenarnya tentang kebenaran yang diwahyukan. Sebagai ciptaan Allah, yang mempertahankan sensus keillahian walaupun dalam keadaan berdosa, kebodohan mereka tentang Allah dan kebencian mereka terhadap kebenaran, tidak membuat mereka sama sekali tidak menyadari keberadaan Allah dan keberadaan mereka sebagai makhluk. Namun, kebodohan dan kebencian mereka terhadap kebenaran membuat kesadaran mereka tentang Allah dan keberadaan mereka sebagai makhluk tidak dapat berkembang untuk memberi arah pada pemikiran dan kehidupan mereka atau untuk melayani sebagai prinsip interpretasi dunia tempat mereka berada." Namun, Rasul Paulus, ketika merenungkan keberadaan mereka sebagai makhluk, serta kepercayaan dan praktik agama mereka, dapat menemukan dalam keberagamaan pagan mereka bukti bahwa para penyair pagan, dalam tindakan mereka memadamkan dan memutarbalikkan kebenaran, sebenarnya memiliki sejumlah kesadaran tentang kebenaran itu sendiri. Dengan demikian, meskipun melihat tugasnya pada dasarnya sebagai sebuah pengumuman tentang Sosok yang mereka tidak ketahui, ia bahkan bisa merujuk pada pemikiran para pagan sebagai petunjuk tentang hubungan sejati antara Sang Pencipta Yang Mahasuci dan makhluk-Nya.” (The Areopagus Address, N. B. Stonehouse halaman 38)

Paulus, dalam pesan alkitabiahnya kepada para filsuf Yunani ini, melanjutkan (ayat 28b) mengutip pujangga pendidikan Yunani Aratus, yang telah mengatakan, merujuk pada Dewa Zeus: "Kami juga keturunannya." (Aratus, Phaenomena, baris 5) Paulus mengklaim kembali frasa ini untuk Allah yang ada di dalam Alkitab. Tetapi para filsuf yang berbicara dengan Paulus di satu sisi adalah sekelompok ateis materialis dan di sisi lain adalah sekelompok filsuf rasional/logis. Apa yang dikatakan penyair mereka tidak masuk akal bagi latar belakang pandangan dunia mereka. Di dunia material (Epikuros), tidak ada yang merupakan keturunan dewa, karena manusia dan dewa semuanya hanyalah materi. Hal yang sama berlaku bagi kaum Stoa, yang berpikir bahwa alam semesta adalah materi. Mereka percaya: "Alam semesta itu sendiri adalah Allah dan (dia) juga merupakan pencurahan jiwa yang universal; dia (Allah) adalah prinsip penuntun dunia yang sama ini, beroperasi dalam pikiran dan akal, bersamaan dengan naturnya yang umum atas segala sesuatu dan totalitas yang merangkul semua keberadaan; maka (Allah adalah) kekuatan yang telah ditentukan sebelumnya dan kebutuhan untuk masa depan; kemudian (dia adalah) api dan prinsip aether; kemudian (Allah juga adalah) unsur-unsur itu, yang keadaan alaminya adalah salah satu dari aliran dan transisi, seperti air, tanah, dan udara; maka (dia adalah) matahari, bulan, bintang-bintang; dan keberadaan universal, di mana segala sesuatu terkandung" (Cicero, De Natura Deorum, i. 39, mengejek filsuf Stoa Chrysippus).

Terjemahan lain dari teks yang sama adalah sebagai berikut: Chrysippus (seorang filsuf Stoa) ... menyebut dunia itu sendiri sebagai Allah, juga jiwa dunia yang meresap ke seluruhnya, dan juga prinsip panduan dari jiwa tersebut, yang beroperasi dalam intelektual dan akal, serta sifat umum dan meliputi segala sesuatu; dan juga kekuatan Takdir, dan Kebutuhan yang mengatur peristiwa masa depan; selain itu, (Allah adalah) api yang saya sebutkan sebelumnya sebagai aether; dan juga semua zat cair dan larut, seperti air, tanah, udara, matahari, bulan, dan bintang-bintang serta kesatuan meliputi semua hal … ." (Cicero, De Natura Deorum. i. 39, diterjemahkan oleh H. Reackham, Harvard University Press, 1967, hal. 41'')

Oleh karena itu jika kita menerima pandangan orang-orang Stoa, bagaimana manusia materi yang terbatas dapat menjadi keturunan dari dewa semesta ini, yang adalah seluruh alam semesta? Dan jika kita menerima pandangan dunia kaum Epikuros, bagaimana mungkin ada perbedaan antara dewa dan manusia, keduanya terdiri dari sejumlah atom? Jadi di sini Paulus tidak menemukan kesamaannya, tetapi dia menyampaikan kebenaran Alkitab dalam perkataan pujangga mereka yang secara langsung bertentangan dengan ajaran mereka sendiri.

Ketika orang Atena mendengar Paulus berbicara tentang kebangkitan (ayat 31b), mereka pun meninggalkannya. Salah satu keyakinan mendasar orang Atena adalah bahwa kematian adalah akhir dari seorang manusia. Ini diringkas dalam kata-kata Aeschylus dalam karyanya The Eumenides: “Ketika debu yang haus menyerap darah seseorang, ketika dia sudah mati, maka tidak ada kebangkitan baginya." (Aeschylus, The Eumenides, 649-651). Pada saat itu, Paulus, dengan mengkotbahkan kepada mereka tentang kebangkitan, yang bertentangan dengan semua ajaran mereka, tetapi pada saat yang sama mereka tidak dapat menjawab Paulus. Mereka sudah mengakui bahwa mereka tidak mengenal satu allah yang mereka bicarakan - dia tidak dikenal. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain mencemooh Paulus (ayat 32a), dan yang lain berkata: “Lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu (ayat 32b) (mungkin mereka berpikir mereka dapat menemukan jawaban bagi Paulus di kemudian waktu). Di sini kita melihat reaksi yang mirip dengan yang Yesus terima dalam Matius 22, saat tidak ada seorang pun yang berani menanyakan apa pun lagi kepada-Nya. Dalam kedua kasus tersebut, kita melihat orang-orang yang tersebut tidak untuk mendapatkan jawaban tetapi hanya berusaha untuk membenarkan diri mereka sendiri.

Oleh karena itu Paulus tidak berusaha untuk membuktikan pandangan alkitabiahnya berdasarkan alasan netral, melainkan dia dengan berani menyatakan pandangan alkitabiahnya sebagai kebenaran, membandingkannya secara implisit dengan apa yang dinyatakankan oleh para filsuf Atena dalam konteks pola pikir mereka yang tidak alkitabiah. Dan meskipun Paulus tidak secara langsung mengutip ayat-ayat Alkitab apa pun, semua yang dia katakan adalah parafrase dari ayat-ayat Alkitab.

Contoh kedua yang kita miliki ada di dalam Kisah Para Rasul 26:1-32. Paulus diadili, dan membela diri di hadapan gubernur Romawi Festus dan Raja Agripa, seorang penguasa dari dinasti Herodian yang merupakan orang Edom dan memiliki garis keturunan Yahudi. Dengan demikian, Raja Agripa menunjukkan rasa hormat terhadap praktik keagamaan Yahudi. Mengetahui latar belakang Yahudi yang dimiliki Agripa, kita dapat lebih memahami pembahasannya dengan Paulus. Paulus memulai dengan mengajukan pertanyaan mendasar (presuposisional): “Mengapa kamu menganggap mustahil, bahwa Allah membangkitkan orang mati?” (Kisah Para Rasul 26:8)

Pikirkanlah ini! Apa yang diketahui Raja Agripa untuk mengatakan orang mati tidak bangkit? Dia pasti tahu setiap kasus di mana seseorang telah meninggal dan tidak dibangkitkan, tidak hanya kasus yang di masa lalu yang dia tahu tetapi juga di masa lalu yang belum ditelitinya, termasuk juga yang belum diteliti di masa itu dan yang di masa mendatang? Raja Agripa secara harfiah mengetahui segalanya sehingga dapat mengatakan bahwa orang mati tidak bangkit lagi; pada dasarnya dia harus menjadi Allah. Tetapi sekali lagi, jika itu yang terjadi dan dia adalah Allah, maka kebangkitan, sama sekali bukanlah masalah. Pertanyaan sederhana Paulus menyingkapkan sikap antagonis Raja Agrippa kepada mukjizat.

Kemudian dalam pasal itu, Paulus bertanya kepada Agripa “Percayakah engkau, raja Agripa, kepada para nabi? Aku tahu, bahwa engkau percaya kepada mereka.” (Kisah Para Rasul 26:27). Pertanyaan tersebut menempatkan Raja pada situasi dilematis yang sulit, Jika dia menjawab ya, Paulus akan bertanya mengapa dia tidak percaya pada kebangkitan atau pada orang yang dinubuatkan oleh para nabi, yaitu Mesias. Jika dia mengatakan tidak, maka dia akan membuat masalah dengan orang-orang Yahudi. Tanggapan yang diberikan Agripa sangat mirip dengan yang diberikan orang-orang Atena kepada Paulus sebelumnya. Dia menghindari pertanyaan itu! “Hampir-hampir saja kauyakinkan aku menjadi orang Kristen” katanya (Kisah Para Rasul 26:28).

Kebenaran firman Tuhan mendukung keseluruhan diskusi. Keberanian Paulus menyatakan Firman Allah begitu kuat sehingga membuat Festus tidak nyaman. “Ilmumu yang banyak itu membuat engkau gila” (Kisah Para Rasul 26:24) kata Festus. Kita melihat pengulangan dari apa yang terjadi di Areopagus di Athena, yaitu bahwa orang-orang yang tidak percaya sangat tidak nyaman dengan pesan Alkitab, yang mereka pahami dengan jelas, sehingga mereka pada akhirnya mengejek Paulus.

Percakapan berakhir dan raja, gubernur, dan semua orang yang duduk bersama mereka meninggalkan tempat itu. Diskusi selesai. Mereka tidak memiliki jawaban untuk Paulus, dan mereka tidak ingin mendengarkan Paulus lagi. Sudah biasa bagi orang tidak percaya untuk mengakhiri percakapan apologetik dengan cara ini (Matius 22, Pengkhotbah 7). Anda hampir selalu memiliki salah satu dari tiga reaksi di bawah ini:

1. Beberapa akan mengejek atau menertawakan apa yang Anda katakan.
2. Beberapa orang akan menolak melanjutkan untuk berbicara (seperti yang terjadi pada Yesus dalam Matius 22), atau mungkin menunda-nunda dan mengatakan mereka akan membicarakannya nanti (seperti yang terjadi pada Paulus dalam Kisah Para Rasul 17).
3. Dan akhirnya, beberapa orang, kepada mereka Allah memberikan kasih karunia atas pertobatan, akan percaya dan diselamatkan.

Paulus, setelah meninggalkan Atena, mendirikan gereja di Korintus (Kisah Para Rasul 18:1-17). Kemudian dia pergi ke Efesus (Kisah Para Rasul 19:8, 20:31) di mana dia menulis surat pertamanya kepada orang-orang Korintus di mana dia mengatakan: “Dimanakah orang yang berhikmat? Dimanakah ahli Taurat? Dimanakah pembantah dari dunia ini? Bukankah Allah telah membuat hikmat dunia ini menjadi kebodohan?” (1 Korintus 1:20). Bahkan setelah Paulus menghabiskan waktu di Athena, ibu kota intelektual dunia pada saat itu, dan bahkan setelah dia bertemu dengan para filsuf Yunani, dia masih menyatakan bahwa dia tidak dapat menemukan orang bijak dan bahwa Allah telah membuat kebijaksanaan dunia ini menjadi kebodohan.

Bukan kita yang akan menyingkapkan kebodohan orang-orang tidak percaya, tetapi Allahlah yang “akan membinasakan hikmat orang-orang berhikmat dan kearifan orang-orang bijak akan Kulenyapkan.” (1 Korintus 1:19). Yang harus kita lakukan hanyalah tetap setia; dan sisa pekerjaan tersebut adalah milik Allah, dan Dia pasti melakukannya!

www.Grace-and-Truth.net

Page last modified on September 01, 2023, at 11:08 AM | powered by PmWiki (pmwiki-2.3.3)