Home
Links
Contact
About us
Impressum
Site Map?


Afrikaans
عربي
বাংলা
Dan (Mande)
Bahasa Indones.
Cebuano
Deutsch
English-1
English-2
Español
Français
Hausa/هَوُسَا
עברית
हिन्दी
Igbo
ქართული
Kirundi
Kiswahili
മലയാളം
O‘zbek
Peul
Português
Русский
Soomaaliga
தமிழ்
తెలుగు
Türkçe
Twi
Українська
اردو
Yorùbá
中文



Home (Old)
Content (Old)


Indonesian (Old)
English (Old)
German (Old)
Russian (Old)\\

Home -- Indonesian -- 11-Presuppositional Apologetics -- 005 (Why should we chose presuppositional apologetics over other systems of apologetics?)
This page in: -- Chinese -- English -- French? -- German -- INDONESIAN -- Russian -- Tamil -- Ukrainian

Previous Chapter -- Next Chapter

11. APOLOGETIKA PRESUPOSISIONAL
Bagaimana Mengungkapkan Kelemahan Mendasar dan Kebohongan Yang Tersembunyi Saat Iman Kristen Diserang
BAGIAN 1 - PENGANTAR APOLOGETIKA

5. Mengapa kita harus memilih apologetika presuposisional daripada sistem apologetika lainnya?


Doktrin Alkitab tentang manusia dan doktrin Alkitab tentang dosa sangat membantu kita dalam memahami – dari perspektif Alkitabiah - dengan siapa kita berbicara dan dengan demikian membantu kita untuk mengetahui metode yang lebih baik dalam melakukan tugas itu. Alkitab sangat jelas berkenaan dengan masalah orang-orang yang tidak percaya. Ini bukan tentang kurangnya bukti yang ada, melainkan tentang masalah spiritual.

Dalam Roma 1, rasul Paulus memberi tahu kita (penekanan saya): “Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman. Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih. Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh.” (Roma 18-22).

Paulus mengatakan orang-orang yang tidak percaya “menindas kebenaran dengan kelaliman mereka.” Jadi bukan karena mereka kekurangan bukti; sebaliknya, mereka mengenal Allah karena Allah telah menyatakan Diri-Nya kepada mereka (ayat 19), dan menurut Paulus, mereka tidak mengenal ilah tetapi mereka lebih mengenal “Allah.” Kata yang dipakai oleh Paulus untuk “tidak dapat berdalih” adalah “ἀναπολογήτους;” (anapologítous) terjemahan yang lebih literal adalah "tanpa apologetika."

Paulus melanjutkan dengan menjelaskan bahwa itu karena mereka yang tidak percaya menolak untuk memuliakan Allah atau mengucap syukur kepada-Nya karena pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap (ayat 21). Dalam Efesus, Paulus bahkan melangkah lebih jauh ketika dia menasihati orang percaya untuk tidak “…Jangan hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka.” (Efesus 4:17-18). Gambaran orang yang tidak percaya dapat ditemukan di seluruh Alkitab: mereka bebal (Mazmur 14:1), fasik (Mazmur 10:4), tidak ada yang berbuat baik (Mazmur 53:1), diserahkan pada pikiran yang terkutuk (Roma 1:28), orang bebal tidak suka kepada pengertian, hanya suka membeberkan isi hatinya (Amsal 18:2), segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata (Kejadian 6:5), hati anak-anak manusia pun penuh dengan kejahatan (Pengkhotbah 9:3), licik (Yeremia 17:9), lebih menyukai kegelapan dari pada terang karena perbuatan mereka yang jahat (Yohanes 3:19), ... dan daftarnya terus berlanjut.

Alkitab sangat jelas bahwa masalah ketidakpercayaan lebih dari sekadar pertanyaan tentang bukti (walaupun ada untuk waktu dan tempat untuk pembuktian). Melainkan mengenai moral dan spiritual serta intelektual. Orang-orang yang tidak percaya melarikan diri dari Allah, tidak mencari-Nya (Roma 3:11). Oleh karena itu kita membutuhkan pendekatan lain untuk apologetika daripada memberikan kepada orang-orang yang tidak percaya lebih banyak bukti atau lebih banyak data; tidak ada jumlah data baru yang akan dapat mengubah hati orang yang tidak percaya. C.S. Lewis menjelaskan ini dengan cukup cemerlang: "Janganlah kita salah sangka. Jika akhir dunia muncul dalam semua perlengkapan harfiah dari Kiamat, jika materialis modern melihat dengan matanya sendiri langit bergulung dan takhta putih besar muncul, jika dia merasakan dirinya sendiri dihempaskan ke dalam Lautan Api, ia akan terus selamanya, bahkan di dalam danau itu, menganggap pengalaman yang dialaminya sebagai ilusi dan mencari penjelasannya dalam psikoanalisis atau patologi serebral. Pengalaman itu sendiri tidak membuktikan apa-apa.” (C.S. Lewis, God In the Dock, dari bab tentang mukjizat). Dengan kata lain, mukjizat tidak menghasilkan orang-orang percaya; orang-orang yang tidak percaya (dan terkadang bahkan orang yang percaya) akan dengan mudah menafsir ulang apa yang mereka lihat atau dengar dengan persepsi presuposisi mereka sendiri. Kita membaca dalam Matius 28 “Dan kesebelas murid itu berangkat ke Galilea, ke bukit yang telah ditunjukkan Yesus kepada mereka. Ketika melihat Dia mereka menyembah-Nya, tetapi beberapa orang ragu-ragu.” (Matius 28:16-17) Di sini Kristus menampakkan diri kepada para rasul, tetapi kita membaca dua kata ini "beberapa orang ragu-ragu" beberapa di antaranya dan apa yang mereka "ragukan"? Mereka adalah beberapa dari para rasul dan mereka meragukan indra mereka sendiri, karena apa yang mereka lihat, bertentangan dengan presuposisi mereka.

Marilah kita juga mengingat kebangkitan Kristus. Para tua-tua Yahudi membayar tentara Romawi, yang telah menjaga makam Yesus pada saat Dia dibangkitkan, untuk berbohong dan mengatakan mereka tertidur dan mayat Yesus dicuri. Anda mungkin mengatakan, para tua-tua Yahudi tidak benar-benar melihat kebangkitan itu sendiri dan itulah mengapa mereka tidak mempercayai kesaksian para murid. Tetapi bagaimana dengan saat Kristus menyembuhkan orang yang mati sebelah tangannya? Orang-orang Farisi ada di sana; Mereka melihat mukjizat itu dengan mata kepala mereka sendiri. Apakah mereka menjadi orang percaya? Tidak, mereka menjadi sangat marah dan segera bersekongkol untuk membunuh Yesus (Lukas 6:11, Markus 3:1-6). Dan bagaimana ketika Yesus membangkitkan Lazarus dari kematian? Di sini kita memiliki mukjizat yang dapat diuji dan dibuktikan; lagipula, ia telah mati selama empat hari (Yohanes 11:39), dan sekarang dia hidup kembali dan sehat. Tapi seperti yang kita ketahui, mukjizat tidak hanya tidak merubah pikiran, melainkan mengeraskan hati mereka dan mereka berencana untuk menghilangkan jejaknya. Pertama-tama mereka sepakat untuk membunuh Yesus (Yohanes 11:53) dan kemudian bermufakat untuk membunuh Lazarus juga (Yohanes 12:10). Apakah Anda ingin beberapa contoh lagi? Bacalah Keluaran dan lihatlah reaksi orang Mesir terhadap apa yang mereka lihat dengan jelas sebagai tangan Allah, namun yang semakin mengeraskan hati Firaun (Keluaran 8:19). Kecuali jika prasangka (presuposisi) orang yang tidak percaya ditantang, kecuali mereka bertobat dan meninggalkan otonomi mereka dan diperbarui dalam pikiran mereka (Roma 12:2), mukjizat-mukjizat dan bukti hanya akan menghasilkan sedikit perbedaan.

Teolog Belanda Cornelius Van Til menggambarkan reaksi orang yang tidak percaya terhadap kebenaran seperti ini: “Karena kita tidak menantang asumsi yang secara aktif memandu interpretasinya terhadap bukti-bukti. Setiap bukti yang diberikan padanya, dia melemparkannya ke dalam jurang kepercayaannya yang tak terbatas. Dia tidak merasa tidak nyaman atas bukti yang diberikan padanya, karena dia diperbolehkan menafsirkan bukti tersebut berdasarkan prasangka sendiri -- sistem kepercayaannya yang memberontak. Tidak ada fakta yang "brutal". Artinya, tidak ada informasi yang benar-benar objektif di dunia ini yang bebas dari interpretasi. Tidak ada bukti yang tidak membawa pernyataan benar atau salah. Kita sebagai penginterpretasi aktif dalam dunia kita, dan prasangka kita yang memandu interpretasi. Apa yang telah dibuktikan oleh para pemberi bukti kepada orang-orang tidak percaya? Bahwa beberapa hal yang sangat aneh dan mistis telah terjadi dalam sejarah masa lalu. Terpisah dari kerangka interpretasi secara alkitabiah, bukti tidak harus memperkuat keberadaan umat Kristen atau menghancurkan keberadaan orang-orang tidak percaya." (Bryan Neal Baird, Theology and Presuppositional Apologetics)

Kita berbicara kepada seseorang yang tidak suka diberi pengertian (Amsal 18:2), yang menghina didikan (Amsal 1:7), dan yang jalan lurus dalam anggapannya sendiri (Amsal 12:15). Jadi tampaknya dari catatan Alkitab yang dimulai dengan empiris, bukti sejarah tidak akan berhasil, karena semuanya itu tidak akan menegur masalah moral atau spiritual manusia, atau fakta bahwa orang-orang telah menjadi otonom, atau telah menggantikan otoritas Allah atas hidup mereka dengan hidup mereka sendiri.

Mukjizat dan bukti empiris mungkin tampak meyakinkan, namun kita tahu tidaklah cukup untuk mengubah pikiran manusia. Namun, Alkitab sebenarnya menawarkan kepada kita sesuatu yang lebih kuat, bahkan lebih pasti: firman Allah. Ketika Yesus menceritakan perumpamaan Lazarus dan orang kaya, ia menceritakan dialog antara Abraham – sebagai juru bicara Yesus - and Lazarus “…Kata orang itu: Kalau demikian, aku minta kepadamu, bapa, supaya engkau menyuruh dia ke rumah ayahku, sebab masih ada lima orang saudaraku, supaya ia memperingati mereka dengan sungguh-sungguh, agar mereka jangan masuk kelak ke dalam tempat penderitaan ini. Tetapi kata Abraham: Ada pada mereka kesaksian Musa dan para nabi; baiklah mereka mendengarkan kesaksian itu. Jawab orang itu: Tidak, Bapa Abraham, tetapi jika ada seorang yang datang dari antara orang mati kepada mereka, mereka akan bertobat. Kata Abraham kepadanya: Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati.’” (Lukas 16:27-31).

Menurut Yesus, jika seseorang tidak memercayai Musa dan para nabi, sebuah mukjizat - bahkan seseorang yang bangkit dari kematian - tidak akan dapat meyakinkan mereka. Kita kemudian mengetahui betapa benarnya hal ini. Setelah kebangkitan Yesus, para tua-tua tersebut masih tidak percaya kepada-Nya. Mereka bahkan menyuap para penjaga untuk berbohong, jadi tidak mungkin bagi mereka untuk menerima kebenaran.

Petrus memberikan pendapat yang sama. “Sebab kami tidak mengikuti dongeng-dongeng isapan jempol manusia, ketika kami memberitahukan kepadamu kuasa dan kedatangan Tuhan kita, Yesus Kristus sebagai raja, tetapi kami adalah saksi mata dari kebesaran-Nya. Kami menyaksikan, bagaimana Ia menerima kehormatan dan kemuliaan dari Allah Bapa, ketika datang kepada-Nya suara dari Yang Mahamulia, yang mengatakan: ”Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” Suara itu kami dengar datang dari sorga, ketika kami bersama-sama dengan Dia di atas gunung yang kudus. Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi. Alangkah baiknya kalau kamu memperhatikannya sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di dalam hatimu. (2 Petrus 1:16-19). Bagi Petrus, firman nubuatan lebih dapat diandalkan dibandingkan menjadi seorang saksi mata. Meskipun Petrus ada di sana; meskipun dia melihat, mendengar, dan menjadi saksi mata, dia masih percaya bahwa firman nubuatan lebih pasti daripada pengalamannya sendiri.

Jika kemudian Alkitab mengatakan bahwa orang-orang yang tidak percaya tidak tertarik untuk mengetahui (1 Korintus 2:14) dan berpikir bahwa jalan Allah adalah kebodohan (1 Korintus1:18), tampaknya tidak ada gunanya lagi untuk membicarakannya, karena tidak adanya kesamaan. Benarkah demikian? Tidak sama sekali. Sebenarnya ada banyak kesamaan yang kita miliki; Alkitab memberitahu kita bahwa orang percaya dan orang tidak percaya semuanya diciptakan menurut gambar Allah (Kejadian 1:27), that Allah dapat dikenal (Mazmur 19:1-6), bahwa pewahyuan Allah jelas bagi semua orang (Roma 1:18, Mazmur 19), bahwa Alkitab terbukti dengan sendirinya (Lukas 16:31). Jadi sepertinya kita memiliki titik awal yang sangat baik karena orang-orang tidak percaya - apa pun yang mereka klaim atas kepercayaannya – tetap dijadikan menurut gambar Allah dan tidak dapat melarikan dirinya daripada-Nya (Mazmur 139:7-9).

Kesamaan ini sangat penting dalam diskusi kita, seperti yang akan kita lihat di bawah ini. Namun penting untuk dicatat bahwa kesamaan tidak sama dengan menjadi netral. Mungkin kita tergoda, dalam keinginan kita untuk berhubungan dengan orang-orang tidak percaya dan untuk dapat berkomunikasi lebih efektif dengan mereka, akan mencoba menemukan landasan netral untuk mendapatkan kesepakatan. Jangan jatuh ke dalam perangkap ini! Netralitas tidaklah mungkin; kita tidak dapat meninggalkan Allah dari segala sesuatu karena Dia adalah dasar untuk segalanya. Kita tahu dari Alkitab bahwa Allah tidak berada di akhir proses berpikir tetapi berada sejak awalnya (Amsal 9:10, Mazmur 111:10. Amsal 1:7, Amsal 2:5. Amsal 15:32). Kita juga tahu dari Alkitab bahwa semua pengetahuan tersimpan di dalam Kristus (Kolose 2:3). Kita diminta untuk berjalan di dalam Kristus (Kolose 2:6), dan tidak mengikuti filsafat berdasarkan tradisi manusia (Kolose 2:8), melainkan mengikuti apa yang menurut Kristus (Kolose 2:8). Paulus juga memberi tahu kita untuk menghindari omongan yang kosong dan yang tidak suci dan pertentangan-pertentangan yang berasal dari apa yang disebut “pengetahuan,” (1 Timotius 6:20).

Kita harus mengindahkan nasihat Paulus “Sebab itu janganlah kamu berkawan dengan mereka. Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang, karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran, dan ujilah apa yang berkenan kepada Tuhan. Janganlah turut mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa-apa, tetapi sebaliknya telanjangilah perbuatan-perbuatan itu.” (Efesus 5:7-11).

Kita disarankan untuk tidak berpasangan dengan orang-orang tidak percaya! Apa artinya ini? Paulus berbicara tentang berpasangan dengan mereka secara intelektual atau metodologis; kita hendaknya tidak ikut "dikenakan kuk" bersama mereka, atau tunduk pada otoritas yang sama (2 Korintus 6:17). Kita akan melihat bagaimana ini sangat penting dalam cara kita melakukan diskusi dengan orang-orang tidak percaya, yang menganut pandangan dunia yang secara fundamental berlawanan.

Jika kita melihat sistem kepercayaan non-Kristen, kita akan mencatat dua hal:

1 - apa yang klaim mereka yakini, yaitu pandangan dunia yang diakui.
2 - apa yang tindakan mereka asumsikan tentang dunia, yaitu bagaimana mereka menjalani kehidupan mereka.

Keduanya selalu berselisih satu sama lain, tidak peduli apa pun sistem kepercayaannya. Wawasan dunia Kristen adalah satu-satunya yang memahami realitas.

Beberapa sistem ketidakpercayaan mungkin mengklaim segala sesuatu yang ada bersifat material (ateisme materialistik atau evolusionisme ateistik, misalnya). Yang lainnya mungkin mengklaim bahwa semuanya adalah ilusi (Hinduisme atau Panteisme, misalnya). Ada juga yang mengklaim bahwa mereka datang untuk mengoreksi Alkitab (Muslim, Mormon atau Saksi-Saksi Yehuwa, misalnya). Lalu ada juga yang mengklaim bahwa kita tidak dapat mengetahui apa pun tentang Allah (seperti agnostik atau skeptis). Tugas seorang apologis adalah untuk mengekspos ketidakkonsistenan dan kesewenang-wenangan dari semua sistem ini, memperlihatkan kepada mereka perkataan Paulus bagaimana Allah telah “menjadikan kebodohan atas hikmat dunia” (1 Korintus 1:18), atau dalam perkataan Yesaya bahwa "Akulah Tuhan, yang menjadikan segala sesuatu, yang seorang diri membentangkan langit, yang menghamparkan bumi – siapakah yang mendampingi Aku? – Akulah yang meniadakan tanda-tanda peramal pembohong dan mempermain-mainkan tukang-tukang tenung; yang membuat orang-orang bijaksana mundur ke belakang, dan membalikkan pengetahuan mereka menjadi kebodohan Akulah yang menguatkan perkataan hamba-hamba-Ku”. (Yesaya 44:24-26). Apa pun yang diklaim dunia sebagai hikmat sebenarnya adalah kebodohan dan jika dunia tidak berpaling kepada Allah dan otoritas-Nya, mereka tidak hanya akan tetap menjadi bodoh tetapi juga tidak diselamatkan.

www.Grace-and-Truth.net

Page last modified on July 17, 2023, at 05:29 AM | powered by PmWiki (pmwiki-2.3.3)