Home -- Indonesian -- 04. Sira -- 11 Tahun MUHAMMAD yang Terakhir (632 M)
11 - Tahun MUHAMMAD yang Terakhir (632 M)
Ziarah Terakhir Muhammad dan Kampanye Perang Selanjutnya (sebelum dan sesudah Maret 632 M) - Hari-hari Terakhir Muhammad, Kematian dan Penguburannya (Juni 632 M)
11.01 -- Judul
11.02 -- Ziarah Terakhir Muhammad dan Kampanye Perang Selanjutnya (sebelum dan sesudah Maret 632 M)
11.01 -- Tahun MUHAMMAD yang Terakhir (632 M)
Menurut Muhammad Ibn Ishaq (meninggal 767 M) diedit oleh Abd al-Malik Ibn Hischam (meninggal 834 M)
Sebuah terjemahan yang diedit dari bahasa Arab, aslinya ditulis oleh Alfred Guillaume
Sebuah seleksi dengan anotasi oleh Abd al-Masih dan Salam Falaki
11.02 -- Ziarah Terakhir Muhammad dan Kampanye Perang Selanjutnya (sebelum dan sesudah Maret 632 M)
Dalam bulan Zulkaidah (bulan kesebelas) Muhammad melakukan persiapan untuk ziarah dan memerintahkan orang-orang untuk melakukan hal yang sama. Aisha, istri sang nabi, berkata bahwa Muhammad telah berkendara ke ziarah sementara masih ada lima malam tersisa di bulan Zulkaidah (bulan kesebelas). Dia menunjuk Abu Dujana al-Saa’idi atas Medinah. Tidak Muhammad maupun orang lain yang berbicara tentang apapun selain daripada tentang ziarah sampai dia mencapai Sarif. Muhammad telah membawa hewan-hewan qurban bersamanya, dan beberapa pria yang terhormat melakukan hal yang sama. Setelah kunjungan ke tempat suci, dia memerintahkan orang-orang untuk meninggalkan status peziarah mereka. Pengecualiannya adalah bagi mereka yang telah membawa serta hewan-hewan qurban bersama mereka. Aku najis hari itu, ketika Muhammad masuk ke dalam aku. Dia bertanya: “Apa yang membuatmu sakit, Aisha? Apakah engkau najis?” Aku menjawab: “Ya, demi Allah, aku berharap tahun ini aku tidak berjalan bersamamu sama sekali!” Muhammad menanggapi: “Jangan katakan hal itu! Engkau dapat melakukan semua yang dilakukan oleh peziarah lain, hanya tidak berkeliling Kabah (tawaf).” Muhammad kemudian memasuki Mekah. siapa yang tidak membawa hewan-hewan qurban bersamanya, meninggalkan status peziarahnya, istri-istrinya juga melakukan yang sama.
Pada hari pengurbanan, banyak daging sapi dibawa ke tendaku. Aku bertanya: “Apakah ini?” Aku diberi jawaban: “Muhammad mengurbankan ternaknya untuk istri-istrinya.” Di Malam Pelemparan Batu (jumrah)*, Muhammad mengirim aku kepada saudaraku, Abd-al-Rahman, yang mengijinkan aku untuk mengunjungi semua situs-situs ziarah yang aku terlewatkan dari Tan’im. Hafsa, istri Muhammad yang lainnya, berkata: “Ketika Muhammad memerintahkan istri-istrinya untuk menanggalkan status peziarahnya mengikuti ziarah, kami bertanya: ‘Dan apa yang menghalangi kamu dari melakukan hal yang sama?’ Dia menjawab: ‘Aku telah membawa serta hewan-hewan qurban dan telah mengepang rambutku. Aku hanya dapat menanggalkan status peziarahku setelah aku menyembeli hewan-hewan qurbanku.’”
11.02.1 -- Pertemuan Ali dengan Muhammad
Abd Allah ibn Abi Najih melaporkan kepadaku bahwa Muhammad telah mengirim Ali ke Najran.* Ali berjumpa dengan Muhammad di Mekah, dan dia, juga, berada dalam status peziarah. Ketika dia datang kepada Fatima, putri Muhammad, dia melihat bahwa Fatima telah menanggalkan status peziarahnya dan membersihkan dirinya. Ali lalu bertanya kepadanya: “Apa yang membuat engkau sakit, putri Rasulullah?” Dia menjawab: “Muhammad memerintahkan kami untuk melepaskan pakaian peziarah setelah kunjungan ke tempat-tempat penyembahan, dan oleh sebab itu kami melepaskannya.” Setelah ini dia mendatangi Muhammad. Setelah dia setelah memberikan pertanggungan jawab atas perjalanannya, Muhammad memeritahkan dia: “Pergilah, kelilingilah Kabah dan lalu lepaskanlah pakaian ziarahmu, seperti yang telah dilakukan oleh para pendampingmu.” Ali lalu menjawab: “Aku telah menyucikan diriku, seperti halnya engkau.” Muhammad mengulangi: “Pergilah dan tanggalkanlah pakaian ziarahmu seperti yang pendampingmu telah lakukan!” Ali lalu berkata: “Wahai Rasulullah, aku bersumpah pada saat aku memakai jubah ziarahku: ‘Allah, aku menyucikan diriku untukmu, sama seperti nabimu, hambamu dan utusanmu Muhammad menyucikan dirinya untukmu!’” Setelah ini Muhammad bertanya kepadanya jika dia telah membawa serta hewan-hewan qurban. Ketika Ali menanggapi dengan negatif, dia memberikan beberapa miliknya kepadanya. Ali tetap di dalam status peziarah sampai ziarah usai. Muhammad menyembelih hewan-hewan qurban atas nama mereka berdua.**
** Cukup aneh, Islam menggabungkan ritual pengurbanan di ranah ziarah, namun tanpa adanya karakter penebusan sama sekali. Islam menolak adanya kemungkinan untuk sebuah pengorbanan substitusi, and oleh karena itu menghilangkan kemungkinan pengorbanan Kristus sebagai Domba Allah yang mewakili dan menggantikan untuk dosa-dosa dunia. Pengorbanan itu dikosongkan dari arti yang esensialnya, dan dengan demikian melambangkan keseluruhan Islam: kosong, tanpa keselamatan bagi pendosa-pendosa yang tersesat.
Ketika Ali kembali dari Yaman untuk bertemu dengan Mu-hammad di Mekah, dia menaruh salah satu dari pendampingnya atas pasukannya yang dia bawa bersamanya. Pria ini memasuki ruang pakaian yang Ali bawa berasamanya dan memberikan kepada setiap prianya sepotong pakaian. Ketika ia semakin mendekati kota, Ali keluar untuk bertemu dengannya. Dia melihat pakaian-pakaian dari orang-orang itu dan berteriak: “Celakalah engkau! Apakah ini?” Para pen-damping menanggapi: “Aku telah memakaikan pakaian kepa-da grup ini supaya mereka kelihatan lebih pantas kepada orang-orang.” Ali berteriak: “Celakalah kamu! Tanggalkan pakaian-pakaian itu dari mereka sebelum kamu tampil di hada-pan Muhammad!” Dia membawa pergi pakaian itu dari mereka dan menaruhnya kembali di dalam ruangan. Para tentara membuatnya menjadi jelas bahwa mereka tidak senang dengan aksi ini. Ketika mereka mulai mengeluh terhadap Ali, Muhammad naik ke mimbar dan aku mendengar bagaimana ia berkata: “Wahai kalian, jangan mencela Ali! Demi Allah, mengenai agama Allah hampir tidak ada yang seperti dia, seseorang yang begitu sungguh-sungguh dan ketak seperti dia.”
11.02.2 -- Khotbah Muhammad pada Ziarah Perpisahan (Maret 632 M)
Selama ziarah ini Muhammad menunjukkan kepada orang-orang kebiasaan-kebiasaan dan upacara-upacara suci dari ziarah dan mengadakan sebuah khotbah yang di dalamnya ia menjelaskan beberapa hal lainnya. Setelah dia memuji dan menyembah Allah, dia berkata: “Wahai orang-orang, dengarlah kata-kataku, karena aku tidak tahu jika aku akan bertemu denganmu lagi di sini di tahun yang lain. Wahai kalian, jagalah propertimu dan darahmu suci*, sampai engkau bertemu dengan Tuanmu, sesuci hari ini dan bulan ini; karena suatu hari engkau akan bertemu dengan Tuanmu, dan dia akan menanyakanmu mengenai perbuatan-perbuatanmu.”**
** Pada penghakiman yang akan datang Allah tidak akan bertanya tentang maksud dan iman dari Muslim, tetapi lebih tentang perbuatan-perbuatan mereka. Pada Hari Penghakiman Terakhir Kristus juga akan menghakimi tergantung kepada perbuatan-perbuatan kita (Matius 25:31-46). Namun perbedaannya, adalah kenyataan bahwa Yesus, dengan darah-Nya, membersihkan dan membenarkan gereja-Nya – semua yang percaya kepada-Nya – di mana Islam tidak mengenal pembenaran dan rekonsiliasi dengan Allah. Untuk alasan itu, semua Muslim akan dinyatakan bersalah pada hari penghakiman. Bahkan hukum mereka sendiri – Shariah – akan menuduh mereka dan memanifestasikan apa yang kurang dari perbuatan-perbuatan mereka. Ini terutama terdiri dari pemenuhan kewajiban ibadah, dalam pembangunan masjid-masjid dan praktek-praktek pelayanan amal. Islam tidak mengenal buah Roh Kudus, yang akan dikenali dan diberikan upah pada hari penghakiman Allah. Buah Roh adalah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Galatia 5:22-23).
“Aku telah menyatakan semuanya kepadamu. Siapapun di antaramu yang memiliki harta milik yang dipercayakan kepadanya harus mengembalikannya kepada dia yang memberikan kepadanya. Semua bunga yang berasal dari riba dilarang, tetapi modal pokok tetap milikmu. Jangan melakukan kesalahan kepada orang lain, maka tidak ada kesalahan yang dilakukan orang lain kepadamu. Allah telah menetapkan bahwa tidak ada bunga yang harus dibayar*, dan semua bunga yang dituntut dari ‘Abbas ibn Abd al-Muttalib harus dibatalkan dan dikosongkan.
“Juga tidak boleh ada balas dendam darah yang diambil untuk darah yang ditumpahkan selama masa kekafiran.* Darah pertama yang tetap tidak tertebus adalah darah Ibn Rabi'a ibn al-Harith ibn Abd al-Muttalib. Dia dibesarkan oleh Bani Laith dan dibunuh oleh suku Hudhail. Ini adalah darah pertama dari masa kekafiran yang tidak ada tuntutan penebusan.”
“Jadi lalu, kalian, Setan meninggalkan harapan untuk disembah lagi di negaramu. Tetapi jika dia mau diikuti di dalam hal lain, dia akan dipuaskan dengan apa yang jahat di dalam perbuatan-perbuatanmu. Oleh sebab itu tetap berjagalah terhadap dia di dalam imanmu!”
“Wahai kalian, penundaan dari bulan-bulan suci adalah tindakan ketidakpercayaan lebih lanjut, di mana para kafir keliru. Mereka menyatakan satu bulan, satu tahun untuk menjadi tidak suci dan satu tahun untuk menjadi suci, dengan maksud untuk memenuhi jumlah bulan-bulan yang telah disucikan Allah.* Tetapi mereka menodai apa yang Allah telah sucikan dan menyucikan apa yang Allah tidak sucikan. Waktu telah menyelesaikan siklusnya dan seperti pada hari-hari ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Jumlah bulan bersama Allah adalah dua belas, empat di antaranya suci, tiga berturut-turut, kemudian Rajab (bulan ketujuh), di antara Jumadil akhir (bulan keenam) dan Syakban (bulan kedelapan).”
“Jadi, wahai kalian! Kalian memiliki hak atas istri kalian, dan mereka memiliki hak tentang kalian. Kalian dapat menuntut dari mereka bahwa mereka tidak cenderung kepada kalian untuk seseorang yang tidak menyenangkan kalian, dan bahwa mereka tidak melakukan perzinahan yang jelas. Jika mereka melakukan perzinahan, Allah mengijinkan kalian untuk menjaga ranjang kalian dari mereka dan untuk mendisiplinkan mereka dengan tidak berlebihan. Tetapi jika mereka menahan diri darinya, kalian memiliki kewajiban untuk menyediakan bagi mereka makanan dan pakaian yang baik. Perlakukanlah wanita dengan baik, karena mereka adalah pembantu kalian dan tidak mampu untuk menyelesaikan apapun sendiri. Kalian telah mendapatkan mereka sebagai properti yang terpercaya dari Allah dan telah mengambil mereka menjadi harta milik melalui pidato yang saleh.”*
“Pertimbangkanlah kata-kataku, wahai kalian! Aku telah memenuhi misiku dan meninggalkan banyak bagi kalian, yaitu, jika kalian mendengarkan sungguh-sungguh, kalian tidak akan pernah tersesat: sebuah instruksi yang jelas, kitab Allah dan contoh dari nabinya.”*
“Wahai kalian, dengar dan pertimbangkan kata-kataku! Ketahuilah bahwa setiap Muslim adalah saudara satu sama lain. Semua Muslim adalah saudara. Tidak ada orang yang diijinkan untuk mengambil sesuatu dari saudaranya yang tidak diberikan dengan sukarela. Janganlah berlaku salah di antara kalian!”
“Allah, belumkah aku melakukan cukup untuk memuaskan misiku?”
Orang-orang lalu menjawab: “Wahai Allah, ya!” di mana Muhammad berkata: “Allah, jadilah saksi atas ini!”*
Pria yang dengan suara kencang memproklamirkan kata-kata Muhammad kepada orang-orang di Arafa adalah Rabi‘a ibn Umaiyya ibn Khalaf. Muhammad berkata kepadanya: “Katakanlah: Wahai kalian, Muhammad bertanya apakah kalian tahu kita berada di bulan apa?” Rabi’a mengulang kata-kata ini, dan orang-orang menjawab: “Ini adalah bulan suci!” Muhammad kemudian lebih lanjut berkata: “Katakan, wahai kalian, Allah telah menyucikan darahmu dan propertimu sampai kalian berjumpa dengan Tuhanmu, sama seperti bulan ini adalah suci untukmu.” Dia lalu melanjutkan: “Katakan, wahai kalian, Muhammad bertanya: apakah kalian tahu tanah apa ini?” Rabi’a mengumumkan kata-kata dengan suara keras dan orang-orang menjawab: “Ini adalah tanah yang tidak tersentuh dan dipisahkan.” Muhammad kemudia berkata: “Katakan, Allah telah menyucikan darah kalian dan properti kalian sampai kalian bertemu dengan Tuhanmu, sama seperti ia telah menyucikan tanahmu!” Dia lalu berkata: “Katakan, wahai kalian, Rasulullah bertanya: ‘Apakah kalian tahu hari apa ini?’” Rabi’a mengulang kata-kata itu dan orang-orang menjawab: “Hari perayaan ziarah besar!” Dia lalu melanjutkan: “Allah menyucikan harta milik dan darah kalian, sama seperti ia melakukannya hari ini.”
Amr ibn Kharija berkata: “Attaab ibn Usayd mengirimku dengan sebuah permintaan kepada Muhammad sementara ia masih di Arafa. Aku mendatanginya dan tetap berdiri di bawah untanya, sehingga liurnya menetes ke atas kepalaku. Aku lalu mendengar bagaimana ia berkata: ‘Wahai kalian! Allah telah memberikan hak kepada setiap orang. Warisan perjanjian untuk ahli waris tidak sah. Setiap anak adalah milik dari ranjang pernikahan dan pezinah harus dirajam.* Dia yang mengaku sebagai ayahnya dia yang bukan ayahnya atau yang mengklaim perwalian atas orang-orang yang bukan miliknya, ke atas yang satu ini jatuh kutukan Allah, malaikat dan manusia di manapun. Allah tidak akan menerima darinya penebusan kompensasi, tidak peduli seberapa besar.’”
Yesus berkata: “Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (Matius 5:28).
Yesus menantang para penuduh wanita yang tertangkap dalam perzinahan: “Dia di antaramu yang tanpa dosa, biarlah dia yang melempar batu pertama kepadanya” (Yohanes 8:3-11)
Abd Allah ibn Abi Najih melaporkan bahwa sementara Muhammad berdiri di Arafa dia berkata: “Pos ini milik gunung tempatnya berdiri dan semua Arafah adalah pos. ketika dia berdiri di bukit Qusah pada pagi hari Muzdalifa, dia berkata: ‘Situs di mana aku berdiri dan seluruh Muzdalifa adalah sebuah pos.’ Ketika ia menyembelih hewan-hewannya di Mina di tempat penyembelihan, dia berkata: ‘Tempat penyembelihan ini dan seluruh Mina adalah tempat penyembelihan (untuk menyembelih hewan untuk qurban).’”
Muhammad menyelesaikan ziarah, menunjukkan kepada orang-orang praktek itu, mengajarkan mereka tentang tata cara ilahi dari ziarah, tentang pos-pos, tentang pelemparan batu, tentang pengelilingan Kabah, juga, yang diijinkan dan dilarang selama ziarah. Hal ini menjadi terkenal sebagai “ziarah tentang instruksi dan perpisahan”, karena itu adalah ziarah terakhir Muhammad.
11.02.3 -- Misi dan Kampanye Lebih Lanjut (Juni dan Juli 632 M)
Muhammad kemudian kembali ke Medinah. Setelah ia telah menghabiskan sisa bulan Zulhijah (bulan kedua belas) di sana, juga bulan Muharram (bulan pertama) dan Safar (bulan kedua), dia memerintahkan sebuah ekspedisi ke Suriah. Dia menunjuk Usama, putra dari seorang budaknya yang dibebaskan, Zaid, untuk memimpin pasukan. Dia memerintahkan Usama untuk memimpin para pengendara ke distrik Balqa* dan Darum. Orang-orang mempersenjatai diri mereka dan yang tertua di antara para Emigran dengan tergesa-gesa berkumpul di sekitar Usama.
11.02.4 -- Utusan Muhammad kepada kaisar dan raja
Muhammad telah mengirim utusan dari antara pendampingnya dan memberikan mereka surat-surat untuk dibawa kepada para penguasa dan raja yang mana ia memanggil mereka kepada Islam.
Satu hari, setelah Muhammad telah kembali dari ziarah, dari Hari Hudaibiya, dia mendatangi pendampingnya dan berkata: “Wahai kalian, karena rahmat Allah telah mengirim aku kepadamu untuk memalingkan engkau dari kejahatan. Jangan menolak aku, seperti murid-murid Yesus, putera Maria (Isa ibn Maryam) menolak dia. Para pendamping bertanya: “Bagaimana mereka menentang dia?” Muhammad menjawab: “Dia memanggil mereka untuk itu, yang juga saya panggil kalian. Tetapi hanya mereka yang dia panggil untuk perjalanan singkat yang puas dan menerimanya. Tetapi mereka yang dia kirim ke tempat yang jauh enggan dan membuat kesulitan-kesulitan. Isa mengeluh mengenai hal ini kepada Allah, dan pagi berikutnya mereka yang membuat kesulitan semua berbicara bahasa dari orang-orang* yang kepada mereka mereka telah dikirim.”
Ibn ‘Abbas berkata: “Di antara para murid dan pengikutnya yang dikirim ‘Isa, adalah Petrus dan Paulus. (Yang terakhir adalah pengikut dan bukan murid). Keduanya dikirim ke Roma, dan Andreas* dan Manta (Matius) ke negeri para kanibal. Tomas dikirim ke timur, ke tanah Babel, Filipus ke Carthage di Afrika, Yohanes ke Efesus, di tanah dari para pendamping dari gua (tujuh orang tidur), Yakobus ke Yerusalem, Ibn Thalma (Bartolomeus) ke Arabia, di tanah Hijaz, Simon ke tanah orang Berber. Dan Jahudha, yang bukan merupakan murid, ditempatkan di tempat Yudas.**
** Ibn Hisham menghubungkan tugas Muhammad dengan laporan pengiriman para rasul Yesus.
Kemudian Muhammad juga memilih utusan dari antara para pendampingnya dan memberikan mereka tulisan-tulisan untuk dibawa kepada para penguasa yang ia panggil untuk memeluk Islam.* Dia mengirim Dihya ibn Khalifa al-Kalbi kepada raja dari kaum Grika (Bizantium); Abd Allah ibn Hudhafa al-Sahmi kepada Kyros (Kisra), raja dari Persia (Sasanit); Amr ibn Umaiyya al-Damri ke Najashi, penguasa dari Abyssinia**, Hatib ibn Abi Balta ke Muqauqis, penguasa Alexandria (Mesir); Amr ibn al-‘As al-Sahmi ke Jaifar dan Iyadh, penguasa Uman (Oman); Salit ibn Amr, dari Bani Amir ibn Lu’ai, ke Thumama ibn Uthal dan Haudha ibn Ali, dari suku Hanifa, penguasa dari Yamama (di timur Arabia pada Teluk Persia). Dia juga mengirim Ala ibn al-Hadrami ke Mundhir ibn Sawa al-Abdi, pangeran Bahrain; Shudya’ ibn Wahb al-Azdi ke al-Harith Abi Shamir al Ghassani, pangeran dari wilayah perbatasan dari Suriah (Yordania); Muhajir ibn Umaiyya al-Makhzumi ke Harith ibn Abd Kulal al-Himyari, penguasa Yaman.
Kebanyakan dari utusan-utusan Muhammad ini terbunuh, namun selama berabad-abad Islam berhasil menaklukkan semua kerajaan ini, kecuali Ethiopia.
** Terlepas dari kenyataan bahwa Najashi di Ethiopia telah memberikan suaka pengungsi Muslim, ia dipanggil untuk tunduk pada Islam.
11.02.5 -- Catatan dari Semua Kampanye Militer Muhammad
Dalam semuanya, Muhammad berpartisipasi dalam 27 kampanye militer, yaitu:
- kampanye ke Waddan (Agustus 623, lihat bagian14.1) atau Abwa’;
- kampanye ke Buwat (September 623, lihat bagian 14.2), di Distrik Radwa;
- kampanye ke ‘Ushaira (Desember 623, lihat bagian 14.3), di Lembah Yanbu’;
- kampanye pertama ke Badr (Sept. 623, lihat bagian 14.4), melawan Kurz ibn Ja’bir;
- kampanye besar ke Badr (Maret 15, 624, lihat bagian 15.1 sampai 26), yang mana pemimpin-pemimpin suku Quraisy terbunuh;
- kampanye melawan Bani Sulaim (Juli 624, lihat bagian 15.26), sejauh Kudr;
- kampanye Sawiq (Mei sampai Juni 624, lihat bagian 15.27) melawan Abu Sufyan
- kampanye melawan Ghatafan (Juli 624, lihat bagian 15.28) atau Dhu Amir;
- kampanye ke Bahran (Oktober dan November 624, lihat bagian 15.28), sebuah situs mineral di Hijaz;
- kampanye Uhud (Maret 625, lihat bagian 16.1 sampai 22);
- kampanye ke Hamra’ al-Asad (Maret 625; lihat bagian 16.23);
- kampanye melawan Bani Nadir (Yahudi) (Agustus 625, lihat bagian 16.27);
- kampanye ke Dhat al-Riqa’ (Juni 626, lihat bagian 16.28) dari Nakhl;
- kampanye terakhir ke Badr (April 626);
- kampanye melawan (orang-orang Kristen di) Dumat al-Jandal (Agustus sampai September 626, lihat bagian 16.28);
- kampanye dari Perang Parit (Maret 627, lihat bagian 17.1 sampai 9);
- kampanye melawan Bani Quraiza (Yahudi) (Mei 627, lihat bagian 17.10 sampai 18);
- kampanye melawan Bani Lihyan (Juli 627, lihat bagian 18.1), dari Hudhail;
- kampanye Dhu Qarad (Agustus 627, lihat bagian 18.2);
- kampanye melawan Bani al-Mustaliq dari Khuza’a (Jan-uari 627/8, lihat bagian 18.3);
- kampanye ke Hudaibiyya (Maret 628, lihat bagian 19-1 sampai 3), di mana Muhammad tidak menginginkan perang, tetapi kaum politeis menentang perlintasannya;
- kampanye melawan (orang Yahudi di) Khaybar (Mei sampai Juni 628, lihat bagian 19.5 sampai 27);
- Ziarah Kontrak (ke Mekah; Maret 629, lihat bagian 20.1);
- kampanye Penaklukkan (Mekah; Januari 630, lihat bagi-an 21.1 sampai 20);
- kampanye Hunain (Januari 630, lihat bagian 22.1 sampai 10);
- kampanye Ta’if (Februari 630, lihat bagian 22.15 sampai 18); dan
- kampanye ke Tabuk (Oktober sampai Desember 630, lihat bagian 23.1 sampai 8).
Di sembilan dari seluruh kampanye terjadi pertempuran, yaitu yang di Badr (5), dekat Uhud (10), di Parit (16), melawan Quraiza (Yahudi) (17), dan Mustaliq (20), (melawan Yahudi) di Khaybar (22), pada penaklukkan Mekah (24), di Hunain (25) dan di Ta’if (26).*
Yang luar biasa mengenai kesimpulan ini adalah bahwa Muhammad sendiri mengambil bagian di dalam ke 27 pertempuran, yang sembilan di antaranya adalah berdarah-darah. Dia – terlepas dari semua pernyataan yang dibuat oleh Muslim – bukanlah manusia damai.
11.02.6 -- Penyebutan ekspedisi dan pengiriman di mana Muhammad tidak berpartisipasi
Dalam semuanya, Muhammad memerintahkan 38 ekspedisi dan pengiriman.* Berikut ini daftarnya:
- Ekspedisi Ubaida ibn al-Harith di bawah Thaniyyat al-Mara (Maret 623, lihat bagian 14.2);
- Ekspedisi Hamza ke pantai di laut (di samping Sif al-Bahr), di wilayah Ijs – beberapa orang menempatkan serangan Hamza sebelum Ubaida (Maret 623, lihat bagian 14.2);
- Ekspedisi Sa‘d ibn Waqqas ke al-Kharrar (Mei 623, lihat bagian 14.3);
- Ekspedisi Abd Allah ibn Jahsh ke Nakhla (Januari 624, lihat bagian 14.5);
- Ekspedisi Zaid ibn Haritha ke Qarda (November 624, lihat bagian 15.30);
- Ekspedisi Muhammad ibn Maslama melawan Ka‘b ibn al-Ashraf (September 624, lihat bagian 15.31);
- Ekspedisi Marthad ibn Abi Marthad ke Radji’ (Juli 625, lihat bagian 16.25);
- Ekspedisi Mundhir ibn Amr ke Bi’r Ma’una (Juli 625, lihat bagian 16.26);
- Ekspedisi Ubaida ibn al-Jarrah ke Dhu al-Qassa, di jalan menuju Irak (Agustus dan September 627);
- Ekspedisi Umar ke Turba, di tanah Bani Amir (Desember 628);
- Ekspedisi Ali ke Yemen (Juni sampai Desember 631, lihat lebih lanjut pada bagian 25.22); dan
- Ekspedisi Ghalib ibn Abd Allah al-Kalbi, dari suku Laith, ke Kadid, di mana dia mengalahkan Bani Mulawwah (Juni 629, lihat bagian berikut 25.7).**
** Daftar yang tidak lengkap dari 12 ekspedisi (sebenarnya hanya ada 11, karena ekspedisi terakhir yang disebutkan terjadi di bagian berikut dalam detil yang lebih hebat), diikuti di bagian selanjutnya (25.7 sampai 23) dengan deskripsi yang detil dari ekspedisi kejam lebih lanjut yang ditugaskan oleh Muhammad.
11.02.7 -- Kabar serangan terhadap Bani Mulawwah (Juni 629 M)
Muhammad mengirim al-Ghalib ibn Abd Allah al-Kalbi dalam sebuah serangan yang aku juga berpartisipasi di dalamnya, dan memerintahkan dia untuk menyerang Bani Mulawwah, yang berkemah di Kadid.* Ketika kami datang ke Qudaid**, kami berjumpat dengan al-Harith ibn Malik al-Laithi, juga dipanggil “Ibn al-Barsa”, dan membawa dia sebagai tawanan. Dia berkata: “Aku hanya memiliki satu orang yang berpindah keyakinan kepada Islam dan dalam perjalan menuju Rasulullah.” Kami menjawab: “Jika engkau benar-benar seorang Muslim, tidak akan membahayakanmu ditahan untuk semalam; jika engkau bukan, maka kami telah menahanmu.” Kami lalu melepaskan belenggunya dan meninggalkan seorang budak hitam muda untuk menjaganya. Dia harus memenggal kepalanya jika dia mencoba melawan. Kami lalu pergi lebih jauh ke Kadid, di mana kami tiba saat matahari tenggelam. Para pendampingku mengirim aku keluar untuk mengintai wilayah itu, dan aku memanjat ke atas sebuah bukit yang lebih tinggi di atas kemah. Seorang pria kemudian keluar dari tendanya dan berkata kepada istrinya: “Aku melihat sesuatu yang gelap di atas bukit itu yang sebelumnya aku tidak pernah perhatikan. Lihatlah barang milikmu untuk melihat jika ada yang hilang, sesuatu yang anjing-anjing mungkin telah menyeretnya pergi.” Istrinya pergi melihat dan kemudian berteriak: “Demi Allah, tidak ada yang hilang!” Dia lalu berkata: “Berikan kepadaku busurku dan dua panah.” Ketika istrinya memberikannya kepada dia, dia menembakkan sebuah panah yang mengenaiku di sisiku. Aku menariknya keluar, menaruhnya di samping dan tinggal di posisiku. Dia menembak yang kedua dan panahnya mengenaiku di pundak. Aku menarik keluar yang satu ini juga, menaruhnya di samping dan tetap di tempatku. Dia lalu berkata kepada istrinya: “Jika ini adalah pengintai yang tidak bersahabat, maka ia harusnya sudah berpindah, karena kedua panahku mengenainya. Carilah mereka sewaktu engkau bangun besok pagi, engkau yang menyedihkan, supaya anjing-anjing tidak mengunyah mereka.” Dia lalu pergi lagi ke tendanya dan kami menantikan sampai mereka merasa aman dan jatuh tertidur. Di pagi-pagi sekali kami menyerang mereka, membunuh beberapa dan membawa pergi ternak-ternak mereka. Kemudian yang terbaik dari suku mereka keluar dari tenda-tenda mereka dalam jumlah yang sedemikian sehingga kami tidak dapat melakukan apapun terhadap mereka. Kami pergi dengan cepat bersama ternak dan ketika kami tiba di Ibn al-Barsa’ kami membawanya bersama kami. Tetapi para pengejar tetap semakin mendekat kepada kami. Hanya Lembah Qudaid yang terletak di antara mereka dan kami. Allah lalu mengirim arus air yang besar ke dalam lembah, tanpa kami melihat adanya awan atau hujan. Ia datang dengan tenaga yang demikian keras sampai tidak ada orang yang mampu menahannya atau menyeberanginya. Pengejar kami tetap berdiri dan harus menyaksikan bagaimana kami pergi dengan ternak-ternak mereka dengan cepat. Tidak ada musuh dapat mendatangi kami dan mengejar kami lebih jauh lagi. Segera kami tidak kelihatan lagi dan membawa semuanya dalam kondisi baik kepada Rasulullah. Seruan perang dari para Pendamping Muhammad malam itu adalah “Bunuh! Bunuh!”**
** “Qudaid” terletak 25 km barat lau Kadid, sekitar 100 km barat laut Mekah.
*** Perintah untuk membunuh muncul dalam bentuk bervariasi sebanyak lebih dari 16 kali di dalam Al-Quran. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan ketika lagi dan lagi segala bentuk teror datang sebagai bentuk ketaatan kepada perintah Allah. Islam bukanlah agama damai, toleransi atau pengampunan; tetapi, ia mencari kemenangan atas musuh-musuhnya dan mengejar ketertundukkan mereka dan menjarah kapanpun memungkinkan.
11.02.8 -- Serangan terhadap Judham sang Kristen (Oktober dan November 627 M)
Ketika Rifa’a ibn Zaid al-Judhami datang dengan tulisan Muhammad kepada rakyatnya, memanggil mereka kepada Islam, mereka mendengarkan dia. Segera setelah itu Dihya ibn Khalifa al-Kalbi juga datang kembali dari kaisar dari Bizantium. Dia memiliki barang-barang berharga bersamanya. Ketika ia melalui Lembah Shinar, Hunaid ibn ‘Us dan putranya ‘Us dari klan Dulay’a, sebuah cabang dari Judham, menyerangnya dan merampoknya atas segala sesuatu yang ia miliki pada dirinya.
Ketika rakyat Dhubaib, yang adalah Muslim, dan klan Rifa‘a ibn Zaid mendapat kabar akan hal ini, mereka mengejar Hunaid dan putranya dan mengalahkan mereka. Pada hari itu Qurra ibn Ashqar memuji klannya dan berkata: “Aku adalah putra Lubna!” Al-Nu’man menembakkan sebuah panah padanya, yang mengenainya pada lututnya, dan berteriak: “Rasakan ini! Aku adalah putra Lubna!” Nama ibunya adalah Lubna. Hassan ibn Milla sebelumnya telah menjadi pendamping Dihya dan telah belajar Al-Quran darinya.
Keluarga Dhubaib mengambil segalanya dari Hunaid dan putranya dan mengembalikannya ke Dihya, yang lalu kembali untuk menceritakan tentang Muhammad, meminta darah Hunaid dan putranya. Setelah itu Zaid (ibn Haritha), bersama dengan tentara, dikirim melawan Judham. Suku Ghatafan dari Judham, Bani Wa’il dan mereka yang keturunan dari Salaman dan Sa’d Hudhaim telah membongkar tenda ketika Rifa‘a ibn Zaid datang dengan tulisan Muhammad, setelah memindahkan kemah mereka ke Harra al-Rajila. Rifa‘a ibn Zaid tidak mengetahui apapun tentang hal ini. Hanya beberapa dari suku Dhubaib ada di Rafa’a. sisanya ada di Lembah Madaan, di sisi Harra, di mana sungai membelok ke timur. Tentara Zaid datang dari al-Aulaaj dan menyerang al-Maqis, yang telah datang dari Harra, mengusir semua musuh dan barang-barang mereka dan membunuh Hunaid dan putranya, dua pria dari Bani al-Ahnaf dan seorang dari Bani al-Khasib. Ketika Bani Dhubaib mendapat kabar tentang hal ini, yang berkemah di Faifaa’ Madaan, beberapa dari mereka berangkat, yang dipanggil “al-Ajaja”, Unaif ibn Malla dengan seekor kuda yang bernama “Righal” yang adalah milik Malla, dan Abu Zaid ibn Amr dengan seekor kuda bernama “Shamir”. Ketika mereka sudah dekat dengan tentara Muslim, Abu Zaid dan Hassan berkata kepada Unaif: “Tinggalkan kami dan pergilah! Kami takut pada lidahmu.” Unaif berhenti. Namun dua orang lainnya belum terlalu jauh ketika kuda Unaif mengais tanah dengan kaki depannya dan mengikuti yang lainnya. Unaif berkata kepada dirinya sendiri: “Aku lebih tertarik kepada kedua pria itu daripada kalian yang mengendarai dua kuda.” Kemudian dia melepaskan kendali dengan cepat, sampai dia berhasil menyusul mereka. Mereka kemudian berkata kepadanya: “Karena engkau telah mengejar kami paling tidak lepaskan kami dari lidahmu dan jangan membawa ketidakberuntungan bagi kami hari ini!” Mereka mencapai persetujuan bahwa hanya Hassan ibn Malla yang harus berbicara. Pada jaman jahiliyah mereka memiliki sebuah kata yang mereka pelajari seorang dari yang lain. Ketika seseorang ingin menyerang dengan pedangnya, dia akan berkata “Buri” atau “Thuri.”*
Ketika para tentara mendeteksi mereka dan bergegas kearah mereka, Hassan berteriak: “Kami orang percaya!” Yang pertama menghampiri mereka adalah seorang pria mengendarai seekor kuda hitam. Dia mulai mengarahkan mereka di depannya. Unaif kemudian berteriak: “Buri!” Hassan menanggapi: “Hati-hati!” Ketika mereka berdiri di hadapan Zaid ibn Haritha, Hassan mengulang pernyataannya bahwa mereka adalah orang-orang percaya. Zaid lalu berkata: “Kalau begitu lafalkanlah surah pertama dari Al-Quran.” Ketika Hassan melafalkannya, Zaid berkata: “Biarlah diketahui di dalam pasukan ini bahwa Allah membuat kemah yang mana orang-orang ini tidak tersentuh, dengan pengecualian kepada mereka yang melakukan pengkhianatan.” Di antara para tahanan juga terdapat saudari dari Hassan, istri dari Abu Wabr ibn Adi ibn Umaiyya ibn al-Dhubaib. Zaid berkata kepada Hassan: “Ambillah dia!” Dia lalu menangkap dia dari kedua sisi. Tetapi ibu dari al-Fizr al-Dulai’iyya berteriak: “Apakah engkau berkeinginan untuk pergi bersama anak-anak perempuan dan meninggalkan para ibu di belakang?” Kemudian salah satu dari Bani al-Khasib berkata: “Sesungguhnya, Bani Dhubaib dan sihir dari lidah-lidah mereka nyata hari ini!” Salah satu dari para prajurit yang mendengar hal ini, memberitahukan Zaid. Zaid memberi perintah bahwa tangan saudari Hassan harus dilepaskan dari sisinya dan berkata kepadanya: “Tetaplah bersama sepupumu sampai Allah mengeluarkan keputusan atasmu.” Lalu mereka berangkat lagi. Para pasukan dilarang untuk turun ke dalam lembah yang melaluinya mereka telah datang. Mereka pergi ke keluarga mereka dan memerah unta-unta milik Suwaid ibn Zaid. Setelah mereka telah meminum habis susu yang terakhir pada larut malam, mereka berkendara kepada Rifa‘a ibn Zaid. Pagi-pagi mereka mencapai Zaid in Kuraa’ Raba, ke arah belakang Harra Laila, dekat sumur di sana. Hassan berkata kepada Zaid: “Engkau duduklah di sini dan perahlah kambingmu sementara para wanita Judham berada dalam tawanan. Tulisan yang engkau bawa telah menipu mereka.” Rifa’a mendapatkan seekor unta dibawakan kepadanya dan berpelana dan dia bertanya: “Apakah engkau masih hidup atau engkau hanya berkata supaya engkau tetap hidup?” Dia lalu berangkat bersama mereka di pagi-pagi itu dan juga membawa serta Umaiyya ibn Dafara, saudara dari Khasibi yang terbunuh. Setelah tiga malam mereka tiba di Medinah. Ketika mereka datang ke depan masjid, seorang pria melihat mereka dan berkata: “Jangan ijinkan unta-untamu berlutut, kalau tidak mereka akan mematahkan kaki-kaki depan mereka!” Mereka lalu turun, meninggalkan unta-unta mereka berdiri dan pergi ke Muhammad. Ketika Muhammad melihat mereka ia memberi isyarat kepada mereka untuk mendatangi dia. Ketika Rifa’a mulai berbicara, seorang pria berdiri dan berkata: “Wahai Rasulullah, orang-orang ini adalah penyihir!” Dia kemudian mendorong mereka berulang kali. Rifa’a kemudian berkata: “Allah kiranya mengasihani dia, yang pada hari ini hanya melakukan yang baik untuk kami!” Dia lalu memberikan kepada Muhammad tulisan yang telah ia berikan kepadanya dan berkata: “Wahai Rasulullah! Ini, ambillah tulisan tua ini yang mana sebuah pengkhianatan baru mengikutinya.” Muhammad memerintahkan seorang muda untuk membacakannya dengan keras. Ketika ia telah selesai membacanya, Muhammad bertanya apa yang telah terjadi. Ketika diberitahukan kepadanya, dia bertanya tiga kali: “Apa yang harus aku lakukan mengenai mereka yang terbunuh?” Rifa’a menjawab: “Engkau lebih tahu, Rasulullah. Kami tidak ingin melarang apa yang diijinkan atasmu dan mengijinkan apa yang dilarang!” Zaid ibn Amr kemudian menambahkan: “Bebaskanlah yang hidup dan yang terbunuh aku akan menginjaknya di bawah kakiku.” Muhammad kemudian berkata: “Abu Zaid telah berbicara sesungguhnya, berkendaralah bersama dia, Ali!” Ali berkata: “Zaid tidak akan mematuhi!” “Jadi ambilah pedangku,” Muhammad berkata, dan menyerahkan pedangnya kepada Ali. Ali kemudian berkata: “Aku tidak memiliki unta yang dapat aku kendarai.” Dia lalu memakai seekor unta milik Tha‘laba ibn Amr, yang dipanggil “Mikhal”. Saat mereka berkendara, seorang utusan Zaid mendekat di atas seekor unta milik Abu Wabr yang bernama “Shamir”. Dia diijinkan untuk turun. Dia berkata: “Wahai Ali! Bagaimana engkau berdiri?” Dia menjawb: “Mereka mengenali milik dari rakyat namun tetap mengambilnya!” Mereka lalu berangkat dan berjumpa dengan pasukan di Faifaa’ al-Fahlatain. Mereka mengambil segalanya dari mereka kecuali karung perbekalan di bawah pelana.
11.02.9 -- Kampanye Melawan Bani Fazaara di Wadi al-Qura (November dan Desember 627 M)
Zaid ibn Haritha berangkat ke Wadi al-Qura* dan di sana bertemu dengan Bani Fazaara. Beberapa dari pendampingnya terbunuh. Zaid sendiri ditarik keluar dari bawah mereka yang terbunuh. Ward ibn Amr ibn Madash juga terbunuh di sana. Dia adalah anggota Bani Sa‘d ibn Hudhail. Dia dibunuh oleh salah seorang dari Bani Badr (ibn Fazaara). Ketika Zaid kembali dia bersumpah bahwa dia tidak akan mencuci kepalanya sampai dia telah melaksanakan sebuah kampanye melawan Bani Fazaara. Ketika luka-lukanya telah sembuh, Muhammad mengirimnya keluar bersama sebuah pasukan untuk melawan mereka. Dia memukul mereka di Wadi al-Qura dan membunuh banyak dari mereka. Zaid memerintahkan Qays ibn Musahhar untuk membunuh Umm Qirfa. Dia membunuhnya dengan cara yang mengerikan. Mereka lalu kembali dengan putrinya dan dengan Abd Allah kepada Muhammad. Putri Umm Qirfa adalah milik Salama ibn Amr ibn al-Aqwa, yang telah menawannya. Dia adalah anggota dari sebuah klan yang mulia, sehingga bangsa Arab berkata: “Jika engkau lebih terhormat dari Umm Qirfa, engkau tidak bisa berbuat lebih banyak lagi!” Muhammad meminta dia kepada Salama, yang lalu memberikannya kepada Muhammad. Muhammad lalu memberikannya kepada paman dari sisi ibunya Hazn ibn Abi Wahb, dan dia melahirkan baginya Abd al-Rahman.
11.02.10 -- Kampanye untuk pembunuhan Yusair ibn Rizam sang Yahudi di Khaybar (Februari dan Maret 628 M)
Lalu diikuti oleh dua kampanye dari Abd Allah ibn Rawaha ke Khaybar. Yang satu bertujuan untuk membunuh Yusair ibn Rizam ibn Rizam, yang tentangnya dilaporkan sebagai beri-kut: “Yusair ibn Rizam berada di Khaybar dan mengumpulkan Ghatafan untuk berperang melawan Muhammad. Muhammad mengirim Abd Allah ibn Rawaha dengan sejumlah pendamping, termasuk Abd Allah ibn Unais, seorang sekutu dari Bani Salima. Ketika mereka datang dan berbicara kepadanya, mereka berkata: ‘Jika engkau pergi ke Muhammad, dia akan menyampaikan sebuah jabatan kepadamu, dan oleh karena itu menghormatimu.’ Mereka menekan dia sampai dia bergabung dengan mereka bersama sebuah rombongan yang terdiri dari beberapa orang Yahudi. Abd Allah mengijinkan dia berkendara di atas untanya sampai mereka tiba di Qarqara, dua belas kilometer selatan dari Khaybar. Pada saat itulah Yusair mulai menyesali keinginannya untuk pergi kepada Muhammad. Abd allah memperhatikan dia dan kemudian men-impanya dengan pedangnya, melepaskan kakinya. Yuzair ibn Rizam menyerangnya dengan sebuah tongkat kayu yang dia miliki di tangannya, yang melukai dia. Pendamping Muhammad kemudian berbaik melawan pendamping Yahudi mereka dan membunuh mereka. Hanya satu orang berhasil kabur dengan berjalan kaki. Ketik Abd Allah mendatangi Muhammad, sang Rasul meludahi lukanya, dan tidak ada nanah atau kesakitan yang terjadi.”
11.02.11 -- Pembunuhan Khalid ibn Sufyan ibn Nubaih al-Hudhali (Juni 625? M)
Lalu datanglah pengiriman Abd Allah ibn Unais, yang Muhammad kirim ke Nakhla* atau ‘Urana* melawan Khalid ibn Sufyan, di mana pria ini telah mengumpulkan orang-orang untuk berperang melawan Muhammad. Abd Allah menyerangnya sampai mati. Abd Allah ibn Unais melaporkan: “Muhammad memanggilku dan berkata: ‘Aku telah mendengar bahwa Abu Sufyan ibn Nubaih telah mengumpulkan orang-orang untuk mengadakan perang melawanku di Nakhla. Pergilah kepadanya dan bunuhlah dia!’ Aku lalu mengatakan: ‘Deskripsikan dia kepadaku sehingga aku akan mengenalinya!’ Dia lalu berkata: ‘Ketika engkau melihat dia, dia akan mengingatkanmu akan Setan. Sebuah tanda bagimu adalah bahwa engkau akan menemukannya benar-benar menjijikkan.’ Aku pergi dengan pedang tersarung sampai aku mencapainya. Dia bersama dengan para wanita, yang untuk mereka dia sedang mencari sebuah kemah. Saat itu adalah waktunya untuk shalat sore. Ketika aku melihat dia, aku menggigil, sebagaimana Muhammad sebelumnya telah katakan. Bagaimanapun juga, aku mendatanginya. Sementara aku takut, bahwa sebuah pertempuran mungkin timbul di antara kami yang dapat menahan diriku dari shalat, aku shalat sebelum pergi. Aku kemudian mendatanginya dan mengangguk dengan kepalaku. Ketika aku berdiri di sampingnya, dia bertanya: ‘Siapakah orang ini?’ Aku menjawab: ‘Seorang Badui yang telah mendengar bagaimana engkau telah mengumpulkan orang-orang melawan pria itu, dan oleh karenanya mendatangimu.’ Dia berkata: ‘Bagus, aku sibuk dengan itu.’ Aku lalu pergi bersamanya untuk peregangan sampai aku menemukan kesempatan untuk menyerang dan membunuhnya dengan pedang. Aku kemudian pergi, sementara para wanitanya melemparkan diri mereka ke atasnya dan meratap. Ketika aku mendatangi Muhammad, begitu dia melihatku, dia berkata: ‘Masalahnya sudah selesai!’ Aku berkata: ‘Aku telah membunuh dia, Rasulullah!’ Dia menanggapi: ‘Engkau telah berbicara sesungguhnya!’ Dia lalu memimpinku ke dalam rumahnya dan memberiku sebuah tongkat dan berkata: ‘Simpanlah tongkat ini!’ Ketika aku keluar kepada orang-orang dengan membawa tongkat, mereka bertanya: ‘Apa arti dari tongkat ini?’ Aku menjawab: ‘Muhammad memberikannya kepadaku dan berkata bahwa aku harus menyimpannya bersamaku.’ Mereka berkata: ‘Mengapa engkau tidak kembali ke dalam dan bertanya kepadanya apa artinya hal ini?’ Aku kembali dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, untuk tujuan apakah engkau telah memberikan tongkat ini kepadaku?’ Dia menjawab: ‘Sebagai tanda antara aku dan engkau pada Hari Kebangkitan, karena pada hari itu paling sedikit orang akan mendapat dukungan.’”** Abd Allah kemudian mengikat tongkat itu ke pedangnya dan pedang itu tetap bersamanya sampai kematiannya. Pedang itu juga dikuburkan bersamanya, berdasarkan perintahnya.
** Pembunuhan dari salah satu musuh Muhammad adalah untuk melayani sebagai dukungan bagi pembenaran si pembunuh pada hari penghakiman Allah. Di dalam Islam, pembunuhan dipandang sebagai pelayanan kepada Allah dan sebagai sarana pembenaran dari si pendosa.
11.02.12 -- Kampanye di Tanah Bani Murra (Desember 628 M)
Kemudian diikuti oleh kampanye dari Ghalib ibn Abd Allah al-Kalbi di negeri dari Bani Murra*. Usama ibn Zaid, bersama seorang Penolong, membunuh di sana Mirdas ibn Nahik, salah satu sekutu mereka dari Juhaina**. Usama ibn Zaid melaporkan tentang kejadian ini: “Aku dan seorang Penolong menangkapnya. Ketika kami menarik pedang, dia berteriak: ‘Aku mengakui bahwa tidak ada Allah selain Allah!’ Tetapi kami tidak berhenti sampai kami membunuh dia. Ketika kami mendatangi Muhammad, kami memberitahukannya masalah ini. Dia lalu bertanya: ‘Siapa yang memberimu hak untuk membunuh seseorang yang berkata: Tidak ada Allah selain Allah?’ Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, dia hanya melakukannya karena takut akan kematian.’ Muhammad lalu berkata lagi: ‘Siapa yang memberimu hak untuk melakukan hal itu?’ Oleh dia yang mengirimnya dengan kebenaran, dia terus menuduhku begitu lama sehingga aku berharap aku tidak bertobat lebih awal tetapi hanya pada hari itu, dan bahwa aku tidak membunuhnya. Aku kemudian berkata: ‘Sabar, Rasulullah! Aku bersumpah bahwa aku tidak akan lagi membunuh seseorang yang mengatakan: Tidak ada Allah selain Allah.’ Muhammad bertanya: ‘Bahkan setelah kematianku?’ Aku menjawab: ‘Bahkan setelah engkau tidak ada lagi!’”**
** Bani Juhaina tinggal di pesisir Laut Merah, di sebelah barat Medinah.
*** Di dalam islam, adalah sebuah dosa yang tidak termaafkan jika seorang Muslim dengan sengaja membunuh Muslim lain, kecuali jika hal itu adalah untuk membalas dendam darah.
11.02.13 -- Serangan ke Dhat al-Salasil, di Tanah Bani ‘Udhra (Oktober 629 M)
Kemudian serangan dari Amr ibn al-‘As ke Dhat al-Salasil, di tanah Bani ‘Udhra* menyusul. Tentang kampanye ini dilaporkan: “Muhammad memerintahkan kepadanya untuk memanggil suku Badui untuk sebuah kampanye ke Suriah, karena ibu dari al-‘As ibn Wa’il adalah berasal dari suku Bali, dan oleh karena itu dia berharap memenangkan mereka. Ketika Amr mendatangi mata air Salsal di tanah Judham, dia mulai takut dan meminta bala bantuan dari Muhammad. Muhammad mengirim kepadanya Ubaida ibn al-Jarrah dengan Emigran tertua, di antara mereka adalah Abu Bakr dan Umar, memerintahkan mereka untuk bersatu karena mereka sedang dikirim. Ketika Abu Ubaida mendatangi Amr, dia berkata: ‘Engkau hanya datang untuk memperkuat aku!’ Abu Ubaida menanggapi: ‘Tidak begitu, aku memimpin mereka yang ada di bawah komandoku, dan engkau memerintah orang-orangmu.’ Abu Ubaida adalah seorang pria yang ramah tamah dan lemah lembut, yang acuh tak acuh terhadap hal-hal di dunia. Amr berkata: ‘Muhammad memerintahkan kita untuk bersatu. Jika engkau tidak menaatiku, maka aku akan tunduk kepadamu.’ Amr lalu berkata: ‘Jadi kalau begitu, aku adalah emirmu dan engkau adalah bala bantuanku!’ ‘Jadilah begitu,’ Abu Ubaida menjawab, dan Amr memimpin orang-orang dalam shalat.”
11.02.14 -- Bagaimana Abu Bakr Menegur Mantan Kristen Raafi‘ ibn Abi Raafi‘
Sebagaimana aku mendengarnya, Raafi‘ ibn Abi Raafi‘ menjelaskan mengenai serangan ini sebagai berikut: “Aku adalah seorang Kristen dan bernama Sarjis. Aku adalah pengawal paling berpengalaman di sisi sebelah sini dari gurun itu. Di masa politeisme aku akan menyembunyikan air di dalam telur-telur burung unta di dalam pasir dan memimpin serangan menggunakan unta yang aku pimpin ke gurun dan mengambilnya menjadi milikku, karena tidak ada orang yang dapat mengejar aku di sana. Aku akan pergi ke tempat air yang tersembunyi dan meminumnya. Ketika aku berpindah keyakinan kepada Islam, aku bergabung dengan ekspedisi Amr ibn al-‘As to Dhat al-Salasil. Karena aku ingin memilih pendamping, aku memilih Abu Bakr dan bergabung dengan kemahnya. Dia memakai mantel dari Fadak, yang dia, ketika kami turun, gunakan sebagai karpet. Begitu kita kembali berangkat, dia akan membungkus dirinya dengan mantelnya, yang dia pegang erat dengan jarum-jarum kayu. Oleh karena itu para penghuni Najd mengomel sewaktu dia murtad: ‘Haruskah kami memberi hormat kepada orang yang memakai mantel ini?’ Aku berkata kepadanya: ‘Wahai Abu Bakr, aku telah menemanimu sehingga Allah akan membawakanku keuntungan melalui pendampinganmu. Berikanlah kepadaku nasehat yang baik dan instruksikan aku!’ Dia menanggapi: ‘Aku akan melakukan hal itu bahkan jika engkau tidak memintaku. Aku memerintahkanmu untuk mengenali Allah saja dan untuk tidak menyekutukan dia dengan apapun, untuk melaksanakan shalat, memberikan sedekah, berpuasa di bulan Ramadan (bulan ke sembilan), untuk berziarah ke tempat suci, untuk mencuci diri setelah setiap ketidaksucian dan jangan pernah berasumsi memiliki otoritas atas dua orang Muslim.’* Aku lalu menanggapi: ‘Wahai Abu Bakr, aku berharap, demi Allah, bahwa aku tidak pernah menyekutukan siapapun dengan dia, bahwa aku tidak gagal untuk untuk melaksanakan shalat dan bahwa, sebagaimana Allah kehendaki, jika aku memiliki sesuatu, untuk selalu membayarkan pajak keagamaan. Aku akan berpuasa di bulan Ramadan (bulan kesembilan), berziarah ke Kabah di Mekah, jika aku memiliki harta untuk melakukannya, membersihkan diriku sesering aku membutuhkan pembersihan. Tetapi mengenai wibawa, sebagaimana aku melihatnya, hanya mereka yang dipercayakan jabatan emir yang dianggap terhormat oleh Muhammad dan orang-orang lain. Lalu mengapa engkau melarangnya bagiku?’ Dia menjawab: ‘Engkau telah memintaku untuk memberitahumu tentang tugas-tugas suci, dan dia berjuang untuk itu, sampai semua orang menerimanya, baik secara sukarela atau dengan paksaan.** Ketika mereka menerimanya, mereka menjadi anak didik dan sekutu di bawah perlindungannya. Berhati-hatilah bahwa engkau tidak mengkhianati Allah melalui anak-anak didiknya, kalau tidak dia akan menyerahkanmu. Jika salah satu darimu salah dalam jalan ini, otot-ototnya akan membengkak dengan kemarahan jika seekor unta dan seekor domba milik anak didiknya terluka. Dan Allah akan datang dengan kemarahan hebat demi nama anak-anak didiknya.’ Lalu aku meninggalkan dia. Ketika Abu Bakr telah dipilih oleh Muhammad menjadi pemimpin, aku mendatanginya dan berkata: ‘Wahai Abu Bakr, apakah engkau melarangku untuk mengambil otoritas atas dua orang Muslim?’ Dia menjawab: ‘Hampir dipastikan, dan aku masih melarangmu bahkan sekarang.’ Aku lalu berkata: ‘Lalu mengapa engkau berasumsi komando tertinggi (khilafah) atas semua orang?’ Dia menjawab: ‘Aku tidak dapat melakukannya secara berbeda, karena aku takut kepada komunitas Muhammad (Ummah) akan terbagi.’”***
** Abu Bakr secara terbuka mengakui bahwa Islam mengharapkan ketertundukan secara sukarela atau penaklukkan yang dipaksakan – dengan kasar jika diperlukan.
*** Mengikuti kematian Muhammad, situasi Muslim untuk satu periode waktu singkat secara keseluruhan dalam kondisi kritis. Abu Bakr sendiri adalah figure yang mengintegrasikan mereka yang dapat menahan bersa-ma kepentingan suku yang berbeda.
11.02.15 -- Apa yang Terjadi dengan ‘Auf ibn Malik al-Ajsha'i
‘Auf ibn Malik al-Ajsha’i mengisahkan: “Aku hadir di serangan ke Dhat al-Salasil, dengan didampingi oleh Umar dan Abu Bakr. Lalu aku melewati beberapa orang yang telah menyembelih seekor unta, tapi tidak mampu membagi-baginya. Karena aku adalah seorang tukang jagal yang terampil, aku bertanya kepada mereka ingin memberikan kepadaku sepersepuluh dari dagingnya jika aku membagi unta itu di antara mereka. Mereka setuju, dan aku mengambil pisau, segera memotong unta itu, mengambil sepotong dan membawanya kepada pendampingku. Kami memasak dan memakannya. Abu Bakr dan Umar bertanya kepadaku di mana aku mendapatkan daging itu. Aku memberitahu kepada mereka dan mereka berkata: ‘Engkau telah melakukan kesalahan dengan memberi kami daging ini!’ Mereka lalu berdiri dan memuntahkan apa yang telah mereka makan.* Pada perjalanan pulang, aku adalah yang pertama mendatangi Muhammad. Dia sedang shalat di rumahnya, dan aku berkata: ‘Kiran-ya damai bersamamu, Rasulullah, dan kiranya rahmat dan belas kasihan Allah bersamamu!’ Dia bertanya kepadaku: ‘Apakah engaku adalah ‘Auf ibn Malik al-Ajsha’i?’ Aku menjawab: ‘Ya, engkau lebih berharga bagiku ketimbang ayah dan ibu.’ Dia lalu bertanya: ‘Apakah engkau orang yang menyembelih unta itu?’ Dan dia tidak mengatakan apa-apa lagi.”
11.02.16 -- Kampanye ke Lembah Idam (Desember 629 M)
Kemudian serangan dari Ibn Abi Hadrad mengambil tempat di Lembah Idam.* Al-Qa’qaa’ ibn Abd Allah melaporkan bahwa ayahnya telah berkata kepadanya: “Muhammad mengirim kami dengan sejumlah Muslim ke Idam. Abu Qatada al-Harith dan Muhallim ibn Jaththama ada di antara mereka. Ketika kami ada di Lembah Idam, ‘Aamir ibn al-Adbat al-Ashja’i mendatangi kami mengendarai seekor unta. Dia membawa roti yang diolesi lemak dan kulit yang berisi susu. Ketika dia melewati kami, dia menyapa kami dalam sikap Islami, dan kami membiarkan dia berlalu. Tetapi Muhallim menyerang dan membunuhnya karena pertengkaran lebih awal dan kemudian mengambil unta dan rotinya. Ketika kami mendatangi Muhammad dan melaporkan masalah ini kepadanya, dia menyatakan: “Wahai orang percaya, ketika engkau sedang berjalan dalam jalan Allah (misalnya dalam sebuah kampanye perang), jadilah diskriminatif, dan jangan berkata kepadanya yang menawarkan engkau salam, ‘Engkau bukanlah seorang percaya,’ mencari kesempatan mendapat harta benda di kehidupan saat ini …” (Surah an-Nisa 4:94)
‘Urwa ibn Zubair melaporkan dari kakeknya, yang bersama Muhammad di Hunain (lihat bagian 22.1 sampai 10): “Muhammad memimpin kita di shalat tengah hari, dan dia kemudian duduk di bawah keteduhan sebuah pohon di Hunain. Al-Aqra ibn Habis dan Uyayna ibn Hisn ibn Hudhaifa kemudian terlibat pertengkaran satu sama lain atas masalah dari Amir ibn al-Adbat. Uyayna, yang pada saat itu adalah kepala suku Ghatafan, menuntut pembalasan dendam darah atas Amir, dan al-Aqra’ membela Muhallim karena posisinya di bawah Khindif. Mereka lalu membawa pertengkaran mereka ke hadapan Muhammad dan kami mendengarkan. Kami mendengar bagaimana Uyayna berkata: ‘Demi Allah, Rasulullah, aku tidak akan melepaskan dia sampai aku membuat wanita ini menderita siksaan yang sama yang ia sebabkan kepadaku.’ Muhammad berkata: ‘Engkau harus menerima uang darah – lima puluh unta pada perjalanan ini dan lima puluh setelah kepulangan kami!’ Uyayna menolak menerima hal ini. Mukaithar lalu berdiri, seorang pria yang kecil dan kekar dari Bani Laith dan berkata: “Wahai Rasulullah! Demi Allah, aku tidak dapat membandingkan pria ini yang mati dalam kilau pertama Islam dengan apapun daripada sekawanan domba yang pergi ke air dan kemudian tercerai berai sampai yang terakhir ketika yang pertama terkena panah. Berikanlah contoh yang benar hari ini, dan gantilah hukumnya besok!’ Muhammad mengangkat tangannya tinggi dan berkata: ‘Tidak begitu, kamu harus menerima uang tebusan – lima puluh pada perjalanan ini dan lima puluh setelah kami kembali.’ Setelah ini mereka menerima uang tebusan. Mereka lalu bertanya: ‘Di manakah kawanmu, supaya Muhammad dapat memohon rahmat Allah baginya?’ Lalu seorang pria yang kuyu dan kecoklatan berdiri tinggi, terbungkus mantel yang dia berpikir dia akan dibunuh, dan duduk di hadapan Mu-hammad. Sang Nabi menanyakan namanya dan dia menjawab: ‘Nama saya ialah Muhallim ibn Jaththama!’ Muhammad mengangkat tangannya dan berkata tiga kali: ‘Allah, jangan maafkan Muhallim ibn Jaththama!’* Dia berdiri dan menghapus air matanya dengan ujung pakaiannya. Namun, kami berkata di antara kami sendiri: ‘Kami telah berharap bahwa Muhammad akan memohon kepada Allah untuk mengampuni dia.’ Tetapi apa yang kami lihat dia lakukan adalah apa yang barusan dikatakan.”
11.02.17 -- Pembunuhan Rifa‘a ibn Qays dari suku Jusham dekat Medinah (Desember 629 M)
Di sana lalu mengikuti kampanye dari Ibn Abi Hadrad ke al-Ghaba*, satu yang, seorang yang dapat dipercaya memberitahuku, Ibn Abi Hadrad sendiri melaporkan dengan cara yang demikian: “Aku ingin menikahi seorang wanita dari sukuku dan telah menjanjikan dia mahar dua ratus dirham. Aku meminta dukungan dari Muhammad dalam hal pernikahanku. Dia bertanya kepadaku berapa besar maharnya. Ketika aku mengatakan 200 dirham, dia menanggapi: ‘Kiranya Allah dipuji! Jika engkau dapat memperoleh dirham dari dasar sebuah lembah, engkau tidak akan memberikan lebih banyak lagi. Demi Allah, aku tidak memiliki apapun yang mana aku dapat menolong engkau!’
Setelah beberapa hari seorang pria yang terhormat dan disukai, Rifa’a ibn Qays pergi dengan banyak keluarga dari sukunya ke al-Ghaba, untuk berkumpul di sana dengan Bani Qays untuk berperang melawan Muhammad. Muhammad memanggilku dan berkata kepadaku dan dua orang Muslim lainnya: ‘Keluarlah dan bawakan aku kabar tentang pria ini!’ Dia kemudian membawa unta tua dan lesu di depan kita – sebagaimana salah dari kami menaikinya – ia tidak dapat berdiri karena kelemahannya, sehingga beberapa pria dari belakang harus memberikan dukungan sampai ia akhirnya dapat berdiri. Muhammad kemudian berkata: ‘Berpuaslah akan unta ini dan naikilah dengan bergiliran!’ Kami keluar bersenjatakan pedang dan panah dan pada matahari tenggelam mencapai sekitar kemah musuh. Aku menantikan pada satu sisi kemah dan pendampingku melakukan yang sama pada sisi yang lain. Aku telah berkata kepada mereka: ‘Ketika engkau mendengar aku berteriak: Allah lebih besar!* dan melihat bahwa aku menyerbu masuk ke kemah, lalu lakukanlah hal yang sama dari sisimu.’ Kami tetap di tempat kami dan menanti sampai kami mengejutkan musuh dan kami dapat mengambil sesuatu dari dia. Malam telah turun atas kami. Api malam telah padam dan para gembala yang membawa ternak merumput belum juga pulang. Mereka menjadi penuh ketakutan. Rifa’a, kepala suku mereka, menggantung pedannya di sekitar dia dan berkata: ‘Demi Allah, aku akan mencari gembala kita. Sebuah ketidakberuntungan pasti telah terjadi padanya!’ Beberapa pendampingnya menawarkan untuk pergi besama dia dan memohon dia untuk tinggal atau paling tidak membawa mereka serta. Tetapi dia bersumpah demi Allah, dia akan pergi tanpa pengawal. Ketika dia mendapati aku, aku menembakkan sebuah panah ke dalam jantungnya. Demi Allah, dia tidak mengucapkan sebuah kata lebih lanjut. Aku lalu melompat ke atasnya dan mencopot kepalanya. Aku lalu berteriak: ‘Allah lebih besar!’ dan menyerbu masuk ke satu sisi kemah, sementara pendampingku datang dari sisi yang lain. Demi Allah, orang-orang tidak berpikir apapun tetapi kabur, dan membawa hanya sedemikian banyak yang mereka dapat bawa karena mereka terburu-buru. Kami menghalau banyak unta dan domba dan memimpin mereka ke Muhammad. Aku juga membawa kepala Rifa’a untuknya. Muhammad memberikan kepadaku tiga belas unta untuk mahar, dan aku menyempurnakan pernikahan itu.”
11.02.18 -- Pembunuhan Abu ‘Afak di Medina (April 624 M)
Salim ibn ‘Umayr, salah satu Hipokrit, dikirim untuk membunuh Abu ‘Afak dari Bani ‘Ubaida. Kemunafikannya menjadi jelas ketika Muhammad membunuh al-Harith ibn Suwayd. Dia lalu mengarang:
ataupun perkumpulan orang-orang lebih beriman
kepada perjanjian, berpegang pada katanya
kepada Pendamping mencari pertolongan, menyelamatkan Putra-putra Qaila.
pegunungan terbelah, tetapi mereka tidak bertahan.
Kemudian seorang pengendara datang dan membagi mereka menjadi dua,
yang suci dan najis dibagi dua.
Apakah anda mengenali kekuatan yang sebenarnya
atau engkau hanya mengikuti peraturan kuno!
Muhammad bertanya: “Siapa yang akan membebaskanku dari bajingan ini?” Salim ibn ‘Umayr, salah satu Hipokrit, pergi dan membunuh dia.* Umama al-Muzairriyya mengarang:
Sesungguhnya, Amr, dia yang memperanakkanmu, memperanakkan pria jahat.
Oleh sebab itu seorang Percaya telah menyerangmu pada akhir malam.
Ambillah itu, Abu ‘Afak – meskipun usiamu sudah lanjut.
11.02.19 -- Pembunuhan Asma’, Putri dari Marwan di Medinah (Maret 624 M)
Asma’, putri dari Marwan, terhadap siapa ‘Umayr ibn Adi berangkat, adalah dari Bani Umaiyya, dan menyatakan dirinya adalah seorang Hipokrit setelah pembunuhan Abu ‘Afak. Dia adalah istri dari seorang pria dari Bani Khatma, yang namanya adalah Yazid ibn Zaid. Dia menghina Islam dan mereka yang mengakuinya di dalam ayat-ayat berikut:
dan setelah pembunuhan para pemimpin
engkau mengharapkan hadiah dari orang-orang asing,
bukan dari Murad dan Madhhij,
seperti seseorang mengharapkan jus dari buah yang matang.
Tidakkah engkau mirip dengan dia, yang memiliki hidung yang sakit,
berharap untuk wajah yang cantik,
menghargai harapan yang tidak akan pernah terpenuhi?
Ketika Muhammad mendengar ini, dia bertanya: “Tidak adakah seseorang yang membebaskan saya dari putri Marwan?” Ketika ‘Umayr ibn Adi al-Khatmi, yang bersama dia, mendengar ini, dia pergi di malam yang sama kepadanya dan membunuhnya. Pada keesokan pagi dia mendatangi Muhammad dan memberitahu dia bahwa ia telah membunuhnya. Muhammad berkata: “Engkau telah membantu Allah dan rasulnya.”* Dia lalu bertanya kepada Muhammad jika dia perlu takut akan sesuatu karena dia. Muhammad menjawab: ‘Tidak ada dua kambing akan saling menanduk kepala mereka karena dia.” Setelah ini ‘Umayr kembali kepada rakyatnya. Bani Khatma sangat terganggu karena pembunuhan putri Marwan, karena pada saat itu dia telah memiliki lima orang putra yang sudah dewasa. Ketika ‘Umayr datang kepada Bani Khatma, dia berkata: “Aku telah membunuh putri Marwan! Berperanglah denganku, maka engkau tidak membutuhkan waktu lebih banyak untuk mempertimbangkan.” Ini adalah hari pertama di mana rumah Bani Khatma dimuliakan melalui Islam, karena mereka yang telah mengakui Islam telah merahasiakannya. Yang pertama adalah ‘Umayr, yang disebut “pembaca Al-Quran”, kemudian Abd Allah ibn Aus dan Khuzaima ibn Thabit. Tetapi pada hari pembunuhan putri Marwan, ketika Bani Khatma melihat kekuatan Islam, lebih banyak dari mereka berpindah keyakinan.
11.02.20 -- Penangkapan dan Perpindahan Keyakinan Thumama
Abu Huraira melaporkan: “Beberapa pengendara Muhammad berangkat dan menawan seorang pria dari Bani Hanifa*. Mereka tidak tahu siapa dia samapi mereka membawanya kepada Muhammad. Muhammad berkata: ‘Tahukah kamu siapa yang telah engkau ambil jadi tahanan? Itu adalah Thumama ibn Uthal al-Hanafi! Perlakukan dia dengan baik!’ Muhammad lalu kembali kepada keluarganya dan berkata: ‘Kumpulkanlah semua makan yang kalian miliki bersama-sama dan kirimkan kepada tahanan itu!’ Dia juga dibawakan unta yang bersusu pada pagi dan malam, jadi dia tidak kekurangan apapun. Muhammad mendatanginya dan mendesak dia menjadi seorang Muslim. Dia menjawab: ‘Jika engkau ingin membunuhku, maka bunuhlah seorang pria yang terbeban dengan hutang darah. Jika engkau mengharapkan tebusan, maka tuntutlah apa yang engkau inginkan!’ Kemudian berlalu beberapa hari sesuka hati Allah. suatu hari Muhammad berkata: ‘Biarkan Thumama pergi dengan bebas!’ Ketika ia telah bebas, dia pergi ke al-Baqi’ dan menyucikan dirinya dengan cara yang terbaik. Dia lalu mendatangi Muhammad dan memberikan penghormatan untuk Islam. Di malam hari dia dibawakan makanannya seperti sebelumnya. tetapi dia hanya minum sedikit susu dari unta yang bersusu. Para Muslim takjub akan hal ini. Ketika Muhammad mendengar akah hal itu, dia berkata: ‘Apa yang membuat kalian takjub? Apakah atas seorang pria yang makan di pagi hari dengan perut seorang kafir dan di malam hari dengan perut seorang percaya? Sang kafir makan dengan tujuh perut, tetapi orang percaya hanya dengan satu.’”
Ibn Hisham berkata: “Dilaporkan kepadaku bahwa ia lalu berziarah ke Mekah dan berkata, pada saat ia sampai di Lembah Mekah, ‘labbaika’* (Aku berdiri tersedia untukmu untuk melayani). Dia yang pertama mengatakan hal ini pada saat memasuki Mekah.”
11.02.21 -- Ekspedisi untuk Menghukum Pria-pria Badjila (September 624 M)
Di dalam serangan melawan Muharib dan Tha’laba, Muhammad mendapatkan seorang budak bernama “Yasar”. Di daerah Jamaa’ (dekat Medinah) dia memaksanya menggembalakan seekor unta di padang rumput. Suatu hari datang orang-orang dari Qays Kubba, sebuah cabang dari Bajila*, kepada Muhammad. Mereka sakit dengan demam dan busung. Muhammad berkata: “Pergilah kepada unta-unta betina dan minumlah dari susu dan air seni mereka.” Ketika mereka menjadi baik kembali dan perut mereka mengecil kepada ukuran normalnya, mereka menyerang Yasar dan membunuhnya**, menusukkan duri ke dalam matanya dan membawa kabur unta itu. Muhammad lalu mengirim Kurz ibn Jabir kepada mereka. Dia membawa mereka kepada Muhammad setelah dia kembali dari Dhu Qarad***. Dia memotong tangan dan kaki mereka dan membutakan mata mereka.****
** “Membunuh” berarti membunuh dengan memotong tenggorokan, sehingga korban mengucurkan darah dengan perlahan sampai mati.
*** ”Dhu Qarad” terletak sekitar 20 km utara dari Medinah.
**** Penghakiman yang mengerikan menyusul perbuatan yang jahat! Islam terus mengikuti perintah: “mata ganti mata dan gigi ganti gigi” (Keluaran 21:23-25). Islam tidak mengetahui jawaban dari Kristus: “Aku memberitahu kamu jangan melawan orang jahat” (Matius 5:38-39).
11.02.22 -- Ekspedisi Ali dan Khalid ibn al-Walid ke Yaman (Juni sampai Desember 631 M)
Muhammad mengirim Ali (Desember 631 M) ke Yaman. Sebagai tambahan dia mengirim pasukan lain ke sana bersama Khalid ibn al-Walid (Juni dan Juli 631 M), dan berkata: “Ketika kalian saling bertemu, Ali yang akan menjadi pemimpin.” Ibn Ishaq menyebutkan di dalam sejarahnya tentang pengiriman Khalid ke Yaman, tetapi dia tidak menyebutkannya di dalam daftar kampanye perang dan misi militer. Sehingga jumlah totalnya seharusnya 39.
11.02.23 -- Perintah Perang Terakhir Muhammad (Juni 632 M)
Muhammad mengirim Zaid ke Suriah,* dan ke dalam distrik Balqa’ dan Darum, yang adalah wilayah Palestina. Rakyat mempersenjatai mereka dan para Emigran yang tertua berkerumun kepada Zaid. Ini adalah ekspedisi terakhir yang dikomandoi Muhammad.
11.03 -- Hari-hari Terakhir Muhammad, Kematian dan Penguburannya (Juni 632 M)
11.03.1 -- Permulaan Penyakit Muhammad (Juni 632 M)
Ketika rakyat dalam perjalanan, penyakit itu mulai menyatakan dirinya melalui yang Allah di dalam belas kasihnya hendak membawa pulang sang Rasul. Itu terjadi selama hari-hari terakhir bulan Safar (bulan kedua), lalu berlanjut di hari-hari pertama Rabiul awal (bulan ketiga dari tahun ke 11 dari Hijrah). Di tengah malam Muhammad pergi ke Baqi al-Gharqad dan mencari rahmat Allah bagi mereka yang terkubur di sana. Dia lalu kembali kepada keluarganya. Mulai dari malam ini dia sakit.
Abu Muwaihiba, seorang budak Muhammad yang dibebaskan, berkata: “Muhammad membangunkanku di tengah malam dan berkata: ‘Telah diperintahkan kepadaku untuk berdoa bagi orang-orang di tanah pekuburan ini. Datanglah bersamaku!’ Aku pergi bersamanya, dan pada saat ia berdiri di tengah-tengah mereka, dia berkata: ‘Damai bersamamu, kalian penghuni kuburan-kuburan ini! Keadaanmu akan lebih baik daripada orang-orang lain. Godaan sebagai pertanda Penghakiman Akhir akan datang seperti bagian dari malam yang gelap. Satu akan menyusul yang lain dan yang terakhir akan lebih buruk dari yang pertama!’ Dia lalu berpaling kepadaku dan berkata: ‘Wahai Muwaihiba! Aku telah diberikan pilihan antara kunci kepada harta dari dunia dan kunci ke Firdaus. Aku telah memilih yang belakangan.’ Dia lalu berdoa bagi para penghuni kuburan dan berjalan terus; lalu penyakit itu, yang darinya dia akan meninggal, mulai.”
Aisha, istri Muhammad, menceritakan: “Ketika Muhammad kembali dari tanah pekuburan, aku mendapatkan sakit kepala dan berteriak: ‘Wahai, sakit di kepalaku!’ Dia memanggil: ‘Tidak, kepalaku!’ Dia lalu berkata: ‘Apa kemalangan yang akan terjadi padamu jika engkau meninggal sebelum aku, jika aku menempatkanmu di kain kafan penguburan, shalat bagimu dan kemudian menguburkan engkau?’ Aku menjawab: ‘Demi Allah, jika engkau akan melakukan ini bagiku hal ini akan seperti melihat engkau kembali ke rumahku untuk bertunangan kepada wanita lain di dalam rumahku.’ Muhammad tersenyum.* Meskipun penyakit itu menjadi semakin buruk dan semakin buruk, dia masih mengatur putaran* kepada istri-istrinya, sampai kesakitannya menjadi tidak tertahankan. Saat itu dia baru saja dari rumah Maimunah. Dia lalu memanggil semua istrinya dan meminta ijin mereka bagi dia untuk menghabiskan waktu dari kesakitannya di rumahku. Dan mereka mengabulkan keinginannya.”
** Berkeliling, atau Tawaf: kata ini digunakan untuk menggambarkan pengelilingan Kabah, dan juga digunakan untuk tugas pernikahan Muhammad terhadap istri-istrinya yang berbeda-beda.
11.03.2 -- Istri-istri Muhammad, Ibu-ibu Orang Percaya
Muhammad memiliki sembilan istri: Aisha, putri Abu Bakr; Hafsa, putri Umar; Umm Habiba, putri Abu Sufyan ibn Harb; Umm Salama, putri Abu Umaiyya ibn al-Mughira; Sauda, putri Zama’a ibn Qays; Zainab, putri Jahsh ibn Riab; Maimunah, putri Harith bin Hazn; Juwairiya, putri Harith ibn Abi Dhirar dan Safiyya, putri Huyay ibn Akhtab.
Kesemuanya Muhammad menikahi 13 istri:* Yang pertama adalah Khadija, yang ayahnya Khuwailid ibn Asad mempercayakan dia kepada Muhammad, untuknya dia memberikan mahar sepuluh ekor unta muda. Juga adalah Khadija yang melahirkan semua anak-anaknya – kecuali Ibrahim. Suami Khadija sebelumnya adalah Abu Hala ibn Malik, dari Bani Usayd ibn Amr ibn Tamim, sekutu dari Bani Abd al-Dar. Khadija melahirkan baginya Hind dan Zainab. Sebelum Abu Hala, dia telah menikahi ‘Utayyiq ibn ‘Aabid, yang kepadanya ia melahirkan Abd Allah dan Jariya.
Muhammad menjalani kehidupan poligami, dikonfirmasi di dalam Al-Quran (Surah an-Nisa 4:3), sehingga menjadi sebuah wahyu ilahi yang dilegalkan bagi Shariah. Dia memiliki, sebagai tambahan dari istri-istrinya, budak-budak wanita, salah satunya adalah Miriam, seorang Kristen dari Mesir, satu-satunya di antara semua istri-istrinya yang memberikan putra baginya di dalam sepuluh tahun kekuasaannya di Medinah.
Pengertian Muhammad tentang pernikahan sangatlah berbeda dari perintah Allah yang ditetapkan pada penciptaan (Kejadian 1:27) demikian juga dengan konfirmasi perintah ini oleh Yesus Kristus (Markus 10:2-12). Namun, hal itu sepakat dengan praktek dari Daud dan Salomo.
Dengan pengertian Islamiknya tentang pernikahan, Muhammad melampaui batas dari sebuah urutan dasar dari sang Pencipta – membawa penderitaan yang tidak berakhir kepada semua wanita Muslim.
Muhammad bertunangan dengan Aisha di Mekah, ketika dia berusia tujuh tahun dan menyempurnakan pernikahannya di Medinah ketika dia berusia sembilan tahun.* Dia adalah satu-satunya perawan yang Muhammad nikahi. Ayahya (Abu Bakr) memberikannya kepada Muhammad sebagai istrinya. Maharnya terdiri dari 400 dirham.
Ketika Khadija meninggal dan Muhammad menjadi penguasa Medinah, dia bertunangan dengan seorang anak – Aisha yang berusia tujuh tahun. Pada tahun-tahun pertama dia masih bermain bersamanya di lantai rumahnya. Ketika Aisha mencapai kedewasaan fisik, pada usia sembilan tahun hidupnya, Muhammad menyempurnakan pernikahannya dengan Aisha. Dia menjadi istri kesayangan Muhammad, dan hanya berusia 19 tahun ketika Muhammad meninggal. Tidak ada konstras yang lebih hebat di dalam hidup Muhammad daripada dari pernikahannya dengan Khadija dan Aisha. Kedua wanita ini memainkan peranan yang mendasar di dalam sejarah Islam.
Muhammad menerima Sauda dari Salit ibn Amr. Laporan lainnya mengatakan bahwa ia dari Abu Hatib ibn Amr Abd Shams ibn Abd Wudd. Maharnya juga 400 dirham.
Wali Zainab adalah saudaranya Abu Ahmad ibn Jahsh. Dia, juga, menerima 400 dirham sebagai mahar. Suaminya yang pertama Zaid ibn Haritha, budak Muhammad yang dibebaskan (dan anak angkatnya). Allah mewahyukan tentang Zainab: “… ketika Zaid telah menyelesaikan keinginannya terhadap dia, maka kami (Allah) menikahkannya kepadamu …” (Surah al-Ahzab 33:37).
Muhammad menerima Umm Salama, yang disebut Hind, dari tangan putranya Salama ibn Abi Salama. Maharnya adalah sebuah ranjang yang penuh dengan daun palem, sebuah cangkir, sebuah mangkok dan sebuah penggiling. Suaminya yang pertama adalah Abu Salama Abd Allah ibn Abd al-Asad. Dia melahirkan untuknya Salama, Umar, Zainab dan Ruqaiya.
Muhammad menerima Hafsa dari ayahnya Umar. Maharnya adalah 400 dirham. Nama suaminya yang pertama adalah Khunais ibn Hudhaafa al-Sahmi.
Umm Habib, yang dipanggil Ramla, diberikan kepada Muhammad oleh Khalid ibn Sa‘id ibn al-‘As sebagai istri. Umm Habib ada bersama Khalid di Abyssinia dan sang Najashi memberikan dia 400 dirham sebagai Mahar atas nama Muhammad. Dia juga memintanya menjadi istri Muhammad. Suaminya yang pertama adalah ‘Ubaid Allah ibn Jahsh al-Asadi.
Juwairriya ada di antara para tahanan dari Bani al-Mustaliq dari Khuza’a. Dia jatuh pada Thabit ibn Qays ibn al-Shammas, yang telah menyelesaikan persetujuan penebusan dengannya. Ketika dia mendatangi Muhammad dan meminta padanya untuk menolong Juwairriya dengan persetujuan penebusan, Muhammad bertanya kepadanya: “Apakah engkau menginginkan sesuatu yang lebih baik?” Dia bertanya kembali: “Lalu apa?” Dia menanggapi: “Aku akan membeli kebebasanmu dan menikahimu.” Dia setuju. Muhammad kemudian meminta ayahnya untuk Juwairriya di dalam pernikahan. Ayahnya memberikannya kepada Muhammad sebagai istri dan maharnya adalah 400 dirham. Suaminya yang pertama adalah sepupunya Abd Allah.
Safiyya adalah seorang tahanan Yahudi dari Khaybar, yang Muhammad telah pilih untuk dirinya sendiri. Pada pesta pernikahannya Muhammad tidak mempersiapkan daging maupun lemak. Pestanya berisi bubur dan kurma. Suaminya yang pertama adalah Kinana ibn Rabi‘a ibn Abi al-Huqaiq.
Muhammad menerima Maimuna sebagai istri dari tangan pamannya al-‘Abbas, yang membayarkan mahar berupa 400 dinar untuk Muhammad. Suaminya yang pertama adalah Abu Ruhm ibn Abd al-‘Uzza. Menurut laporan yang lain, Maimunah memberikan dirinya sendiri kepada Muhammad. Dia meminta tangannya dalam pernikahan saat dia duduk di atas untanya. Dia lalu berkata: “Unta dan apa yang ada di atasnya adalah milik Allah dan rasulnya!” Di mana Allah mewahyukan: “… dan seorang wanita yang percaya, jika ia menawarkan dirinya sendiri kepada sang nabi …” (Surah al-ahzab 33:50).* Menurut apa yang orang lain katakan, adalah Zainab yang memberikan dirinya sendiri kepada sang nabi, yang lainnya mengatakan itu adalah Umm Sharik Ghaziyya, putri Ja’bir ibn Wahb.
Untuk membenarkan pengecualian ini, para sarjana shariah berbicara tentang Pernikahan-Hiba, yang terjadi ketika seorang wanita tanpa syarat menawarkan dirinya kepada seorang pria – sesuatu yang adalah hak istimewa yang dimiliki Muhammad.
Muhammad menerima Zainab, yang karena perbuatan baiknya dipanggil “Ibu dari yang Miskin”, dari Qabisa ibn Amr al-Hilali sebagai istri. Mahar dari Muhammad sejumlah 400 dirham. Suami keduanya adalah Ubaida ibn al-Harith ibn al-Muttalib, dan suaminya yang pertama adalah sepupunya Jahm ibn Amr ibn al-Harith.
Muhammad menyempurnakan pernikahnya dengan kesebelas wanita ini. Dua di antara mereka – Khadija dan Zainab, meninggal sebelum Muhammad dan sembilan istri hidup lebih panjang darinya. Dengan dua wanita lain Muhammad tidak menyempurnakan pernikahannya – dengan Asma, putri dari Nu’man dari suku Kinda, yang ia temukan dalam keadaan kusta dan oleh sebab itu dikirim kembali kepada keluarganya bersama dengan maharnya, dan dengan Amra, putri dari Yazid, dari suku Kilab, yang baru saja menjadi seorang percaya dan telah mencari perlindungan Allah ketika dia mendatangi Muhammad. Dia lalu berkata: “Siapapun yang mendatangi Allah untuk perlindungan akan dilindungi!” Muhammad mengirim dia kembali kepada keluarganya.
Di antara istri-istri Muhammad terdapat enam orang dari suku Quraisy: Khadija, Aisha, Hafsa, Umm Habiba, Umm Salama dan Sauda. Tujuh lainnya datang dari suku Badui atau dari kelompok asing: Zainab (putri Jahsh), Maimunah, Zainab (putri Khuzaima), Juwairiyya, Asma’ dan Amra. Safiyya bukan seorang Badui (namun seorang Yahudi); dia berasal dari Bani al-Nadir.
11.03.3 -- Muhammad di Rumah Aisha
Aisha menceritakan: “Muhammad datang ke rumahku dipimpin oleh dua orang pria dari keluarganya. Yang seorang adalah al-Fadl ibn ‘Abbas. Muhammad membungkus kepalanya dengan sehelai kain dan kakinya lemah.” Ubaid Allah menyatakan: “Ketika aku mewariskan tradisi ini kepada Abd Allah ibn al-‘Abbas, dia bertanya: ‘Apakah engkau tahu siapa orang yang satu lagi?’ Aku berkata: ‘Tidak.’ Dia lalu berkata: ‘Ia adalah Ali.’” Muhammad akhirnya pingsan. Penyakit itu menjadi semakin buruk. Belakangan dia memerintahkan: “Tuanglah tujuh kulit air sumur dingin ke atasku, supaya aku dapat keluar mendapati rakyatku dan mengumumkan kata-kata terakhirku kepada mereka.” Kami mengaturnya di dalam sebuah bak mandi yang dimiliki Hafsa dan menuangkan air atasnya, sampai dia berteriak: “Cukup! Cukup!”
Muhammad kemudian keluar dengan kepalanya terikat dan menurunkan dirinya di mimbar. Dia memulai dengan doa yang panjang bagi para pendamping dari Uhud, yang bagi mereka ia memohon rahmat Allah.*
Dia lalu berkata: “Allah telah memberikan pembantunya pilihan antara dunia ini dan yang berikut, dan pembantunya telah memilih kedekatan Allah!”*
Abu Bakr mengetahui arti dari kata-kata itu dan tahu bahwa Muhammad telah mengacu kepada dirinya. Oleh sebab itu dia menangis dan berkata: “Kami akan dengan senang hati menyerahkan diri kami dan anak-anak kami untukmu!” Muhammad menjawab: “Hati-hati, Abu Bakr!” Dia lalu melanjutkan: “Lihatlah pintu-pintu yang menuju ke masjid. Tutuplah semuanya kecuali untuk yang satu yang menuju ke tempat tinggal Abu Bakr; karena di antara semua pendampingku, tidak ada yang berdiri paling dekat denganku kecuali dia.”*
11.03.4 -- Muhammad Memerintahkan Pengiriman Usama Ibn Zaid (Juni 632 M)
Selama hari-hari sakitnya, Muhammad telah meyaksikan bahwa rakyatnya tidak berada di dalam persetujuan tentang pengiriman Usama ibn Zaid. Beberapa dari mereka menggerutu: “Dia telah menetapkan seorang pria muda di atas para Emigran dan Penolong yang paling terhormat!” Jadi Muhammad meninggalkan rumah Aisha dengan kepalanya terbungkus, duduk di mimbar dan berkata (setelah ia telah memuji dan meninggikan Allah di dalam sebuah cara yang layak dan pantas): “Wahai kalian! Laksanakan pengiriman Usama! Demi hidupku, jika engkau memiliki sesuatu keberatan akan kepemimpinannya, maka engkau juga lakukan hal yang sama terhadap ayahnya. Dia sama layaknya sebagaimana ayahnya.” Ketika Muhammad meninggalkan mimbar, penyakitnya bertambah parah. Usama meninggalkan kota dengan pasukannya dan mendirikan kemahnya di Juraf, tiga mil jauhnya dari kota. Orang-orang berkerumun padanya. Tetapi karena Muhammad sangat sakit, Usama tetap di kemah dengan orang-orangnya. Dia ingin menantikan dan melihat apa yang Allah akan putuskan dengan rasulnya.
11.03.5 -- Muhammad Memuji para Pembantu
Dilaporkan bahwa Muhammad, pada hari dia berdoa untuk para Pendamping dari Uhud, dikatakan telah berkata, di antara hal-hal lain: “Wahai engkau Emigran, perlakukan para Penolong dengan baik!”* Orang-orang lain melipatgandakan diri mereka, tetapi para Pembantu tetap sebagaimana adanya mereka; mereka tidak bertambah. Mereka adalah tempat perlindungan di mana aku berbalik. Baiklah kepada mereka, yang bersahabat kepada mereka dan menghukum semua yang sakit hati kepada mereka.” Setelah itu Muhammad meninggalkan mimbar. Penderitaannya menjadi begitu kuat sampai dia menjadi tidak sadarkan diri.
11.03.6 -- Bagaimana Obat Diberikan kepada Muhammad
Abd Allah berkata: “Beberapa istrinya mendatanginya – Umm Salama, Maimunah dan lainnya, di antara mereka juga ada Asma, putri Unais, dan pamannya ‘Abbas. Mereka mencapai kesepakatan untuk memberikan obat kepadanya. ‘Abbas menawarkan untuk memberikannya, yang adalah yang terjadi. Ketika Muhammad sadar kembali, dia bertanya: ‘Siapa yang telah melakukan ini kepadaku?’ Mereka menjawab: ‘Pamanmu.’ Dia kemudian berkata: ‘Ini adalah sebuah obat yang para wanita telah bawa dari negeri itu.’ Dia menunjuk ke arah Abyssinia. ‘Mengapa engkau melakukan hal itu?’ ‘Abbas menjawab: ‘Kami takut engkau menderita pleurisy (infeksi pada membrane yang mengelilingi paru-paru).’ Kemudian dia berkata: ‘Itu adalah sebuah penyakit yang Allah tidak kirim kepadaku. Sekarang setiap orang di dalam rumah ini harus makan obat ini, kecuali pamanku.’ Ini terjadi bahkan kepada Maimunah, yang sedang berpuasa. Muhammad pada kenyataannya bersumpah bahwa ini harus terjadi, sebagai sebuah hukuman bagi obat yang telah mereka berikan kepadanya.”*
11.03.7 -- Abu Bakr Memimpin Komunitas dalam Shalat
Aisha berkata: “Ketika Muhammad sangat sakit, dia memerintahkan bahwa Abu Bakr harus memimpin di dalam shalat. Aku menanggapi: ‘Abu Bakr adalah seorang pria yang lembut. Dia memiliki suara yang lemah dan sering menangis ketika dia membaca Al-Quran.’ Namun, Muhammad mengulang perintahnya. Ketika aku juga mengulang kata-kataku, dia menjawab: ‘Engkau seperti para pendamping Yusuf. Perintahkan dia untuk memimpin di dalam shalat!’ Demi Allah, aku telah membawa keluar keberatan-keberatan ini dengan maksud agar ayahku dibebaskan dari hal sedemikian. Aku tahu benar bahwa mereka tidak akan pernah mencintai seorang pria yang akan mengambil alih tempat Muhammad, dan bahwa mereka akan menyalahkan dia akan setiap insiden yang tidak menyenangkan.”*
Abd Allah ibn Zam‘a menjelaskan: “Ketika Muhammad menjadi sangat sakit, aku dan Muslim yang lain bersama dengan dia. Bilal memanggilnya untuk shalat, dan dia berkata: ‘Biarlah seseorang yang lain memimpin shalat!’ Aku keluar dan menjumpai Umar* di antara orang-orang (Abu Bakr tidak hadir) dan berkata kepadanya: ‘Berdirilah dan pimpin komunitas ini di dalam shalat!’ Umar berdiri dan ketika ia memanggil: ‘Allah lebih besar!’ Muhammad mendengar suaranya yang kuat dan bertanya: ‘Di mana Abu Bakr? Allah tidak menginginkan itu, dan para Muslim juga tidak menginginkannya.’ Mereka lalu memanggil Abu Bakr. Dia datang setelah Umar telah memulai shalat. Dia lalu melanjutkan shalat itu. Umar berkata kepadaku (begitu kata Abd Allah): ‘Celakalah engkau! Apa yang telah engkau lakukan kepadaku! Demi Allah, ketika engkau memintaku memimpin shalat, aku pikir engkau melakukan hal itu atas perintah Muhammad. Jika tidak, aku tidak akan memimpin shalat.’ Aku menjawab: ‘Demi Allah, Muhammad tidak memerintahkan itu kepadaku. Tetapi ketika aku melihatmu dan tidak melihat Abu Bakr, aku menemukan engkau sebagai yang paling layak di antara mereka yang hadir.’”
11.03.8 -- Hari Kematian Muhammad (8 Juni, 632 M = 13 Rabiul awal (bulan ketiga) dari tahun kesebelas setelah Hijrah)
Muhammad meninggal pada hari Senin. Pada hari itu dia masih keluar untuk melaksanakan shalat pagi. Tirai terangkat dan pintu terbuka, dan dia tetap berdiri di pintu rumah Aisha. Karena kegembiraan atas penampilan Muhammad, para Muslim tergoda untuk menginterupsi shalat mereka. Muhammad memberi isyarat dengan tangannya bagi mereka untuk melanjutkan shalat. Dia juga dipenuhi sukacita karena melihat mereka dalam posisi shalat. Demi Allah, Muhammad tidak pernah kelihatan lebih menyenangkan bagiku daripada hari ini. Dia lalu masuk kembali ke rumah Aisha. Rakyat pergi dan berasumsi kondisinya telah membaik. Abu Bakr bahkan pergi kepada keluarganya di Sunh.
Abu Mulaika melaporkan kepadaku: “Senin pagi Muhammad keluar dengan kepalanya terbungkus dan Abu Bakr memimpin shalat. Rakyat bersukacita dengan hebat dan sejak Abu Bakr tahu bahwa ini terjadi hanya karena Muhammad, dia berhenti sebentar dari shalat. Tetapi Muhammad mencolek dia di punggungnya dan menegur dia: ‘Tetap berdosa!’ Dia duduk di samping Abu Bakr dan berdoa ke sebelah kanannya. Ketika shalat itu sudah selesai, dia berbalik kepada Jemaah dan berkata begitu kerasnya sampai suaranya bergema di luar: ‘Wahai kalian! Apinya telah dinyalakan dan cobaan datang seperti jam dari malam yang gelap, tetapi demi Allah, engkau tidak dapat meletakkan apapun untuk menuduhku. Aku hanya diijinkan apa yang Al-Quran ijinkan dan dilarang apa yang Al-Quran larang.’* Ketika Muhammad berhenti berbicara, Abu Bakr berkata kepadanya: ‘Wahai nabi Allah! aku lihat bahwa engkau cukup baik pagi ini melalui kebaikan Allah. Hari ini adalah hari putri Kharija. Bolehkah aku mengunjunginya? Muhammad menjawab dengan ‘ya’. Dia lalu pergi lagi ke dalam rumah dan Abu Bakr pergi kepada keluarganya di Sunh.”
Zuhri menyampaikan dari Abd Allah ibn Ka‘b ibn Malik apa yang Abd Allah ibn ‘Abbas telah katakan: “Pada hari itu Ali datang di antara orang-orang setelah dia meninggalkan Muhammad. Ketika mereka bertanya kepadanya bagaimana kabar Rasulullah, dia menjawab: ‘Puji Allah dia lebih baik!’ Tetapi ‘Abbas menarik tangannya dan berkata: ‘Wahai Ali, demi Allah, dalam tiga hari engkau akan menjadi hamba dari Jemaah. Aku melihat kematian di wajah Muhammad, seperti aku lihat pada putra-putra Abd al-Muttalib. Ikutlah denganku; kita akan pergi kepada Muhammad. Mari kita lihat jika otoritas akan dialokasikan untuk kita. Jika tidak, marilah kita memohon kepadanya untuk merekomendasikan kita kepada rakyat!’ Ali menanggapi: ‘Demi Allah, aku tidak akan melakukan itu. Jika otoritas tidak diberikan kepada kita, maka tidak seorangpun setelah dia akan memberikannya kepada kita.’ Muhammad meninggal pada hari yang sama, seperti matahari berdiri tinggi di surga.”
11.03.9 -- Muhammad Membersihkan Giginya sebelum Kematiannya
Aisha berkata: “Ketika Muhammad kembali pada hari itu dari masjid, dia berbaring pada pangkuanku. Lalu datang seorang pria dari klan Abu Bakr ke dalam. Dia memiliki sebuah tusuk gigi segar di tangannya. Muhammad melihat dengan cara tertentu kepada tangannya, sedemikian bahwa aku memperhatikan ia menginginkan tusuk gigi itu. Aku bertanya jika aku harus memberikannya kepadanya. Dia menjawab: ‘Ya’. Aku mengambilnya, mengunyah secukupnya untuk membuatnya menjadi lembut, dan memberikannya kepadanya. Dia membersihkan giginya lebih berhati-hati dari sebelumnya dan kemudian meletakkannya. Aku memperhatikan ia menjadi lebih berat di dalam pangkuanku. Ketika aku melihat wajahnya, tatapannya mengarah ke atas. Dia berkata: ‘Tidak, Pendamping lebih tinggi di firdaus.’ Aku menjawab: ‘Pilihan telah diberikan kepadamu dan engkau telah memilih.’ Dan dengan demikian Rasulullah meninggal.
Aisha berkata: “Muhammad meninggal di antara paru-paru dan leherku (di dadaku). Sehubungan dengan dia, aku tidak pernah berbuat salah. Karena ketidaksabaran dan masa mudaku, Muhammad mati di pangkuanku. Aku lalu meletakkan kepalanya di atas sebuah bantal, berdiri dan mulai memukul wajahku dan memukul dadaku, sebagaimana dilakukan wanita-wanita lain.*”
11.03.10 -- Apa yang Dikatakan Umar setelah Kematian Muhammad
Ketika Muhammad meninggal, Umar berdiri dan berkata: “Beberapa dari para hipokrit mengatakan bahwa Muhammad telah meninggal. Tetapi demi Allah, Muhammad belum meninggal, tetapi telah pergi kepada Tuannya, seperti Musa, putra ‘Imran, yang menjauh dari rakyatnya untuk empat puluh hari dan kemudian kembali, setelah mereka telah menyatakan dia meninggal. Demi Allah, Rasulullah juga akan kembali seperti Musa dan memenggal tangan dan kaki mereka yang menyatakan dia meninggal.”
Ketika Abu Bakr mendapat kabar kata-kata dari Umar, dia mendatangi pintu masjid, sementara Umar masih bebicara kepada orang-orang. Tetapi Umar tidak memedulikannya sampai dia masuk ke dalam rumah Aisha. Muhammad terbaring ditutupi sebuah mantel bergaris di sudut ruangan. Abu Bakr melangkah ke arahnya, membuka penutup wajahnya , menciumnya dan berkata: “Engkau lebih berharga bagiku daripada ayah dan ibu. Engkau telah merasakan kematian, yang Allah telah tetapkan atasmu. Setelah kematian ini engkau akan menjadi abadi!” Dia lalu menutup wajahnya lagi dengan mantel, melangkah keluar dan berkata kepada Umar yang masih berbicara: “Hati-hati, Umar, dengarkan aku.” Tetapi Umar tidak mau diinterupsi dan melanjutkan dengan pidatonya. Ketika Abu Bakr melihat bahwa dia tidak mau diam, dia berbalik langsung kepada orang-orang. Ketika mereka mendengar kata-katanya mereka berbalik kepadanya dan meninggalkan Umar.
Abu Bakr memuji Allah dan lalu berkata: “Wahai kalian! Siapapun yang menyembah Muhammad, biarlah dia tahu bahwa Muhammad telah meninggal. Tetapi siapa menyembah Allah, dia masih hidup dan tidak akan meninggal!” Dia lalu melafalkan ayat berikut: “Muhammad hanyalah seorang rasul; dan rasul-rasul telah meninggal sebelum dia, Mengapa, jika dia harus meninggal atau dibunuh, akankah engkau berbalik pada tumitmu? Jika seorang pria akan berbalik pada tumitnya, dia tidak akan membahayakan Allah dalam cara apapun; dan Allah akan membalaskan yang bersyukur.” (Surah Ali Imran 3:144). Dan, demi Allah, seolah-olah orang-orang belum pernah mendengar pewahyuan ayat ini, sampai hari itu sewaktu Abu Bakr membacanya untuk mereka. Orang-orang menerimanya dari Abu Bakr, dan ayat itu terus ada di dalam mulut mereka.
Abu Huraira berkata: “Umar berkata: ‘Demi Allah, begitu aku mendengar bagaimana Abu Bakr melafalkan ayat ini, aku diliputi penyesalan, sedemikian sampai kakiku tidak lagi kuat membawaku dan aku terjatuh. Aku sekarang mengenali bahwa Rasulullah sesungguhnya telah meninggal.’”*
11.03.11 -- Apa yang Terjadi di Halaman Bani Sa’ida
Setelah Muhammad telah meninggal, suku dari para Pendamping ini (dari Medinah) berkumpul di sekitar Sa‘d ibn Ubada di sebuah halaman dari Bani Sa’ida. Ali, Zubari dan Talha menark diri ke dalam rumah Fatima. Sisa dari para Emigran (dari Mekah) pergi kepada Abu Bakr. Usayd ibn Hudhair, dengan Bani Abd al-Ashhal, bersama mereka. Kemudian seseorang mendatangi Abu Bakr dan Umar dan berkata: “Cabang dari para Penolong ini telah berkumpul di sekitar Sa’d ibn Ubada di depan halaman dari Bani Sa’ida, dan mereka telah menggabungkan diri mereka dengan dia. Jika engkau mencari kepemimpinan, maka pergilah kepada mereka sebelum sesuatu dalam masalah ini diputuskan.” Muhammad masih terbaring di rumahnya. Mereka masih belum selesai dengan dia, dan keluarganya telah mengunci pintu di belakangnya. Umar kemudian berkata kepada Abu Bakr: “Marilah kita pergi kepada saudara-saudara kita, para Penolong, untuk melihat apa yang mereka ingin lakukan.”
Perkumpulan dari para Penolong di halaman berjalan seperti berikut, setelah laporan dari Abd Allah ibn Abi Bakr, yang mendapatkannya dari Zuhri, yang kepadanya dikirim oleh ‘Ubaid Allah ibn Abd Allah ibn ‘Utba ibn Mas’ud; Abd Allah ibn ‘Abbas berkata kepadanya: “Aku ada di rumah Abd al-Rahman ibn Auf di Mina dan menantikan sampai dia kembali dari Umar. Saat itu adalah waktunya ziarah terakhirnya dan aku kadang-kadang melafalkan Al-Quran kepadanya. Ketika dia kembali dan melihatku, dia berkata: ‘Jika saja engkau melihat bagaimana seorang pria mendatangi pangeran dari orang-orang percaya dan berkata kepadanya: “Wahai pangeran dari orang-orang percaya, apa yang engkau katakan kepada si anu dan si anu, yang telah berkata: ‘Demi Allah, ketika Umar meninggal aku akan memberikan penghormatan kepada si anu dan si anu? Demi Allah, penghormatan dari Abu Bakr datang hanya sebagai sebuah kejutan yang dikonfirmasi dengan tindakan ini.’” ‘Umar menjadi marah dan berkata: ‘Jika Allah menghendaki, aku akan memperingatkan orang-orang itu malam ini, yang ingin membahayakan orang-orang mengenai aturan mereka.’ Aku berkata: ‘Wahai pangeran orang-orang percaya, jangan lakukan ini, karena pada acara festival segala macam orang jahat berkumpul, yang akan terlebih dahulu berkumpul di sekelilingmu; ketika engkau berdiri dan menyampaikan kata-katamu, maka orang-orang akan menyebar di sekeliling dari semua sisi, tanpa sungguh-sungguh menerima dan dengan benar mengertinya. Lebih baik nantikan sampai engkau mendatangi Medinah ke tempat dengan instruksi suci, di mana engkau akan dikelilingi secara khusus oleh mereka yang berpengetahuan tentang hukum dan pria-pria mulia. Apa yang engkau katakan di Medinah, akan tetap. Mereka yang berpengetahuan di dalam hukum akan mempertahankan kata-katamu dan dengan benar mengertinya!’ Umar berkata: ‘Demi Allah, jika Allah menghendaki demikian, pada pidato pertamaku di Medinah aku akan berdiri untuk ini!’”
“Kami datang” – demikian laporan Ibn ‘Abbas – “pada akhir dari bulan Sulhijah (bulan kedua belas) ke Medinah. Pada hari Jumat pertama aku bersegera ke masjid, begitu matahari telah mencapai titik tingginya. Sa‘id ibn Zaid ibn Amr Nufail telah duduk di pilar di mimbar. Aku duduk berseberangan dengannya, sehingga lututku menyentuhnya, dan tidak meninggalkannya sampai Umar datang. Aku kemudian berkata kepada Sa’id: ‘Malam ini dia akan berkata-kata dari mimbar ini sebagaimana dia belum pernah berbicara sebelumnya – karena dia adalah Khalifahnya.’ Sa’id tidak ingin mempercayainya dan berkata: ‘Apa yang dapat dia katakan yang dia belum pernah katakan sebelumnya?’ Umar duduk di mimbar dan – ketika muadzin terdiam – berdiri, memuji Allah di dalam cara yang patuh, dan berkata: ‘Hari ini aku akan mengatakan sesuatu kepadamu sesuai dengan penentuan Allah, karena aku tidak tahu jika aku akan bisa mengatakannya di saat kematianku. Siapapun yang mengerti dan mempelajarinya dengan ingatan, biarlah dia menyebarkannya sejauh untanya akan membawa dia; siapapun yang takut dia tidak mengetahuinya dengan benar, biarkan dia menjaga dirinya agar tidak menyebutku dengan kata-kata yang tidak pernah aku ucapkan. Allah mengirim Muhammad dan mewahyukan kitab itu kepadanya. Sebuah ayat yang terdapat dalam wahyu iniyang berhubungan dengan rajam.* Kami telah membacanya, mempelajari dan menghafalkannya. Muhammad sendiri mengijinkan rajam dan kami telah melakukannya setelah dia. Namun aku takut setelah waktu yang panjang seseorang akan berkata: “Kami tidak menemukan sesuatupun tentang rajam di dalam Kitab Allah!” Sehingga hukum yang Allah wahyukan tidak akan diikuti. Karena menurut Kitab Allah, diperintahkan untuk merajam para pezinah ketika bukti ada di tangan. Dan ketika ada sebuah pengakuan dari pria atau wanita, seperti waktu sebuah kehamilan, rajam itu harus dilaksanakan juga.’
Dikatakan, di antara hal-hal lain: ‘Jangan berbalik dari ayah-ayahmu, karena hal itu tidak benar (ketidaksalehan) ketika engkau melakukannya.’ Bahkan ketika Muhammad menuntut: ‘Jangan menuhankanku, seperti ‘Isa, putra Mariam, telah dituhankan. Panggillah aku hamba dan rasulullah!’”*
Lebih lanjut aku mendengar, bahwa si anu dan si anu berkata: “Demi Allah, ketika Umar meninggal maka aku akan memberikan penghormatan kepada si anu dan si anu.” Tetapi tidak ada seorangpun begitu buta seperti mengatakan bahwa penghormatan kepada Abu Bakr adalah masalah terburu-buru. Tapi itu terjadi dengan cara ini, dan dengan demikian Allah mencegah kejahatan, karena tidak ada seorang pun di antara kamu yang orang-orangnya lebih setia daripada Abu Bakr. Namun siapapun harus memberikan penghormatan kepada seorang pria tanpa keputusan dari Dewan Muslim, penghormatannya tidak sah, sama seperti penghormatan yang diberikan oleh seorang yang melakukannya karena takut dibunuh. Kami mendengar bahwa ketika Allah mengambil Muhammad kepada dirinya, bahwa para Penolong (dari Medinah) terbagi dan berkumpul dengan pemimpin-pemimpin mereka di halaman Bani Sa’ida. Ali, Zubair dan pengikut-pengikut mereka juga menjauh dari kami, sementara para Emigran (dari Mekah) berkumpul di sekitar Abu Bakr. Aku lalu berkata kepada Abu Bakr: “Marilah kita pergi kepada saudara-saudara kita, para Penolong!” Di perjalanan kami berjumpa dengan dua pria yang jujur, yang menyampaikan kepada kami perjanjian itu dan bertanya kepada kami kemana kami ingin pergi. Kami berkata: “Kepada saudara-saudara kami, para Penolong!” Mereka lalu berkata: “Jangan dekati mereka, kalian Emigran. Lengkapilah apa yang engkau inginkan!” Aku menanggapi: “Demi Allah, kami pergi kepada mereka!” Kami memasuki halaman dari Bani Sa’ida dan menemukan seorang pria terturup di tengah-tengah mereka. Kami bertanya: “Siapakah pria ini?” Mereka menjawab kami: “Sa’d ibn Ubada.” Aku bertanya: “Apa yang dia miliki?” Mereka menjawab: “Dia sakit!” Ketika kami duduk pembicara mereka mulai dengan pengakuan iman dan memuji Allah, dia lalu berkata: “Kami adalah penolong Allah dan pasukan Islam. Kalian yang beremigrasi adalah anggota klan kami. Sejumlah besar orang-orangmu menyerang kami dan akan mengusir kami dari asal kami dan merebut kepemimpinan dari kami.” Ketika dia terdiam, aku ingin berbicara. Aku telah mempersiapkan sebuah pidato, satu yang menyenangkanku dan yang aku ingin presentasikan di hadapan Abu Bakr, karena aku kehilangan sedikit kekerasan di dalam dia. Tetapi dia berkata: “Hati-hati, Umar!” Aku tidak ingin membuat dia marah dan memberi dia hak lebih tinggi. Ketika dia akhirnya berbicara, kata-katanya lebih terpelajar dan berat dari pada milikku dan, demi Allah, dia tidak meninggalkan sebuah katapun yang telah aku maksudkan untuk katakan. Tetapi dia mengekspresikannya dengan berbeda dan lebih baik. Dia berbicara: “Tentu saja kalian pantas atas segala barang-barang yang baik yang kalian klaim tentang diri kalian sendiri, namun suku Badui hanya menerima peraturan dari Quraisy. Suku ini adalah bagian pusat dari bangsa Arab, baik mengenai asal mereka juga tempat di mana mereka menetap. Aku menyarankan kalian salah satu dari dua pria ini; berikan penghormatan kepada siapa yang kalian kehendaki!” Dengan kata-kata ini dia menarik tanganku dan tangan Abu Ubaida ibn al-Jarrah. Demi Allah, jika mereka telah membawaku kepada eksekusiku, tanpa melakukan kejahatan, aku lebih suka itu daripada memerintah orang-orang yang salah satunya adalah Abu Bakr.
Seorang pembicara dari para Penolong kemudian berkata: “Aku adalah tiang di mana unta menggores dan kurma yang didukung dengan baik. Seorang emir harus dipilih dari kami dan seorang dari engkau suku Quraisy.” Kemudian sebuah suara berisik timbul. Suara-suara itu bertambah keras dan keras, begitu keras sampai aku takut ada perpecahan. Aku lalu berkata kepada Abu Bakr: “Ulurkanlah tanganmu!” Ketika ia mengulurkan tangannya, aku memberi penghormatan kepadanya. Dengan segera para Emigran dan Penolong memberi penghormatan kepadanya. Kami lalu menyerang Sa’d ibn Ubada, sedemikain sampai seorang dari mereka berteriak: “Engkau membunuah Sa’d!” Tetapi aku menanggapi: “Kiranya Allah membunuh dia!”*
Ketika para Penolong dari Medinah menyarankan dua Khalifah – satu dari tengah-tengah mereka dan satu dari kelompok Quraisy, Umar mulai, setelah Abu Bakr mengulurkan tangannya, memberi penghormatan kepadanya, menarik mayoritas bersamanya kepada Abu Bakr.
Muhammad bahkan belum dikubur ketika pertempuran pecah mengenai siapa yang menjadi penerusnya. Itu bukan tentang penyembahan Allah atau meratapi kematian Muhammad, tetapi hanya kekuasaan. Insiden ini dengan jelas merefleksikan semangat Islam.
Yesus mengirim murid-murid-Nya untuk pengasingan penuh doa selama sepuluh hari setelah kenaikan-Nya, sampai Roh Kudus turun atas mereka. Petrus telah sebelumnya ditunjuk oleh Yesus untuk menjadi kepala dari para rasul. Roh Kudus mengonfirmasi panggilan ini. Pada hari Pentakosta masalah merebut kekuasaan politik tidak memainkan peran apa pun, tetapi masalah menerima kuasa dari Allah. Para Murid telah bertanya kepada Yesus sebelum kenaikan-Nya mengenai pendirian kerajaan Allah di antara orang-orang Perjanjian Lama. Tetapi Yesus mengesampingkan pemikiran duniawi mereka dan menjanjikan mereka Roh Kudus, yang akan membangun mereka menjadi sebuah kerajaan Spiritual – gereja dari Yesus Kristus.
11.03.12 -- Pidato Umar pada Hari Penghormatan Umum
Zuhri melaporkan dari Anas ibn Malik: “Pada hari penghormatan di halaman, Abu Bakr duduk di mimbar. Umar kemudian berdiri dan berkata (setelah dia memuji Allah, seperti yang kami katakan): ‘Wahai kalian! Aku berbicara kepada kalian kemarin bahwa aku tidak menemukan di dalam kitab Allah dan juga yang Rasulullah tidak memerintahkanku untuk lakukan. Aku berpendapat bahwa Muhammad akan mengarahkan masalah kita melalui kata-kata terakhirnya kepada kita. Tetapi Allah telah meninggalkan bukunya di antara kita, yang berisi petunjuk dari rasulnya. Jika engkau berpegang teguh padanya, Allah akan memimpinmu dengannya, sebagaimana ia telah memimpin dia.*
Allah menyatukan kalian di sekitar yang terbaik di antara kalian, di sekitar Pendamping Rasulullah yang ada bersamanya sebagai orang kedua di dalam gua. Berdirilah dan berilah penghormatan padanya!’ Lalu komunitas itu memberikan penghormatan kepada Abu Bakr sekali lagi.”*
11.03.13 -- Pidato Abu Bakr
Abu Bakr mengadakan (setelah dia telah memuji Allah) pidato berikut ini: “Wahai kalian! Aku telah ditunjuk menjadi pemimpin kalian, meskipun aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika aku memerintah dengan benar, maka berikanlah dukungan kalian; jika aku berlaku dengan salah, maka luruskanlah aku! Kebenaran adalah kesetiaan, kebohongan adalah pengkhianatan. Yang lemah di antara kalian adalah kuat di hadapanku, sampai aku mengamankan haknya untuknya, jika Allah menghendaki demikian.
Yang kuat adalah adalah lemah di hadapanku, sampai aku, jika Allah menghendaki demikian, memuaskan tuntutan dari Hukum. Tidak pernah ada orang yang gagal berperang di jalan Allah, tanpa Allah menyerahkan mereka kepada kehinaan. Dan tidak pernah ada hal-hal memalukan yang dilakukan oleh orang-orang tanpa Allah yang membawa kesialan bagi mereka. Patuhilah aku, selama aku mematuhi perintah Allah dan rasulnya. Jika aku bertindak berlawanan, maka kalian tidak berhutang ketaatan kepadaku. Berdirilah untuk shalat, kiranya Allah memberikan rahmatnya kepadamu!”*
11.03.14 -- Persiapan dan Penguburan Muhammad
Setelah penghormatan telah diberikan kepada Abu Bakr, penguburan Muhammad berlangsung pada hari Selasa. Ali, ‘Abbas dan putra-putra Fadl dan Qutham, Usama ibn Zaid dan Shuqran, seorang budak yang dibebaskan dari Muhammad bertanggung jawab atas pemandian jenazah. Aus ibn Khauli memanggil dari luar: “Aku memohon kepadamu demi Allah dan berbagian kita dalam Muhammad!” Ali telah masuk ke dalam. Aus masuk, duduk dan hadir untuk acara pemandian. Ali menyandarkan Muhammad ke dadanya. ‘Abbas dan putra-putranya menolong membalik dia. Usama dan Shuqran menuangkan air atas tubuhnya, dan Ali memandikan dia sementara menyandarkan dia di atas dadanya. Muhammad memakai pakaian dalamnya. Dia menggosok melaluinya tanpa menyentuh dia dengan tangannya. Ali berkata: “Betapa indahnya engkau, hidup atau meninggal!” seseorang tidak dapat melihat pada Muhammad apa yang umumnya kelihatan pada jenazah-jenazah lain. Aisha berkata: “Ketika mereka ingin memandikan Muhammad, tidak ada persetujuan apakah dia harus, seperti jenazah lainnya, ditelanjangi, atau dia harus dimandikan dengan pakaiannya. Allah lalu membiarkan mereka semua tertidur. Dagu mereka telah tenggelam ke dada mereka ketika seseorang dari sisi rumah berkata (tidak ada yang tahu siapa orang itu): ‘Mandikanlah sang nabi dengan pakaiannya!’ Mereka kemudian memandikannya dengan pakaian dalamnya. Mereka menuangkan air di atasnya dan menggosok tubuhnya sehingga pakaian dalam tetap di antara dia dan tangan-tangan mereka. Ketika pemandian telah selesai, mereka membungkus dia dengan tiga pakaian, dua dari Suhar* dan satu mantel bergaris, yang dengannya dia dibungkus.”
Ibn ‘Abbas berkata: “Ketika mereka ingin menggali kuburan untuk Muhammad, mereka ragu-ragu tentang dua orang penggali kubur: Yaitu, Abu Ubaida ibn al-Jarrah, penggali kubur dari Mekah, yang menggali kubur di tengah ruang bawah tanah dan Abu Talha Zaid ibn Sahl, yang menggali di sisi ruang bawah tanah. ‘Abbas kemudian memanggil kedua pria ini. Yang seorang dia kirim kepada Abu Ubaida dan yang lainnya kepada Abu Talha. ‘Abbas berkata: ‘Allah! Pilihlah kuburan yang benar bagi rasulmu!’ Yang seorang yang dikirim kepada Abu Talha kembali pertama. Dia membawa Abu Talha bers-manya. Pria ini menggali kubur pada sisi raung bawah tanah.”
Ketika tubuh Muhammad dipersiapkan untuk penguburan, mereka membaringkan dia di rumahnya di atas ranjangnya. Terjadi perdebatan mengenai di mana dia harus dikuburkan. Beberapa ingin menguburkan dia di dalam masjid, dan yang lainnya bersama para Pendampingnya. Abu Bakr kemudian berkata: “Aku mendengar bagaimana Muhammad berkata: ‘Setiap nabi telah dikuburkan di tempat di mana dia meninggal!’” Mereka lalu mengambil karpet di atasnya Muhammad telah meninggal dan menggali sebuah kubur di bawahnya.* Orang-orang lalu datang berbondong-bondong untuk berdoa bagi dia; pertama para pria, kemudian wanita, akhirnya anak-anak, tanpa seorangpun menahan mereka.
Muhammad dikuburkan hari Rabu, di tengah malam. Aisha berkata: “Kami tidak mengetahui tentang penguburan Muhammad. Di tengah malam pada hari Rabu, kami tiba-tiba mendengar suara cangkul. Hal sama dilaporkan kepadaku oleh Fatimah. Ali, Fadl ibn ‘Abbas, Quthum dan Shuqran me-manjat ke dalam kuburan. Aus ibn Khauli kemudian me-manggil Ali: ‘Aku memohon kepadamu demi Allah dan demi keberbagian kita atas Rasulullah.’ Ali lalu berkata: ‘Turunlah!’ Aus ibn Khauli kemudian memanjat turun kepada yang lainnya di dalam kuburan. Shuqran telah, ketika dia membaringkan Muhammad di dalam kubur, mengambil mantel yang biasanya Muhammad pakai untuk membungkus dirinya, merobeknya dan menguburnya bersama dia. Dia berkata: ‘Demi Allah! Tidak ada orang yang akan memakai mantel ini setelah engkau!’ Mughira ibn Shu‘ba mengatakan bahwa dia adalah orang terakhir yang berhubungan dengan Muhammad. Dia berkata: ‘Aku melemparkan cincin meteraiku ke dalam kuburdan dan berteriak: ‘Aku membiarkannya jatuh!’ Tetapi aku dengan sengaja melemparkannya dengan maksud untuk menjadi yang terakhir berhubungan dengan Rasulullah.’”
Aisha lebih lanjut berkata: “Selama sakitnya Muhammad memakai tutup atas dirinya, yang dengannya ia menutupi wajahnya, dan yang dia akan lepaskan dari waktu ke waktu. Lalu dia akan berkata: ‘Allah, perangilah orang yang membuat kuburan nabimu menjadi rumah doa!’ Oleh sebab itu dia takut rakyatnya akan melakukan hal itu.”
Aisha juga mengatakan bahwa kata-kata terakhir Muhammad adalah: “Dua agama tidak dapat ditoleransikan di Jazirah Arabia.”*
Ketika Muhammad meninggal terjadi ketidakberuntungan atas para Muslim. Aisha berkata: “Ketika Muhammad meninggal, suku Badui murtad. Yudaisme dan ke-Kristenan bangkit dan para hipokrit secara terbuka menunjukkan diri mereka. Karena kematian nabi mereka, para Muslim menyerupai kawanan basah pada malam musim dingin, sampai Allah mengumpulkan mereka di sekeliling Abu Bakr.
11.04 -- Kesimpulan
Hassan meratapi Muhammad dalam puisi berikut ini:
Hassan ibn Thabit juga mengarang mengenai kematian Muhammad:
Hukum Islamik terbentuk dari empat sumber: Al-Quran, Sunnah (jalan hidup Muhammad), Qiyas (deduksi melalui analogi) dan konsensus dari sarjana Islam (Fatwa). Jalan hidup Muhammad lalu menjadi standar bagi semua Muslim. Setiap orang harus hidup sebagaimana Muhammad hidup. Dia harus, boleh dikatakan demikian, berpakaian Muhammad. Hanya ketika dia ada “di dalam” Muhammad dia baru akan menjadi seorang Muslim yang baik.
Dalam cara yang sama, orang-orang Kristen tidak dapat menjadi lebih baik dari Yesus. Mereka dipanggil di dalam iman dan penyangkalan diri untuk mengikut Dia dan untuk bertumbuh ke dalam Dia. Tidak ada hukum memaksakan mereka untuk memakai Tuhan dan Juru Selamat mereka seperti sebuah pakaian baru, tetapi lebih kepada Roh Kristus yang memenuhi mereka dengan kasih-Nya, sehingga Yesus tetap “di dalam” mereka dan mereka “di dalam” Dia.
Siapapun mempertimbangkan perbedaan yang sangat besar antara Yesus dan Muhammad, mulai membedakan kekuatan dan tujuan dari sejarah gereja dan dari Islam selama 2.000 tahun terakhir. Lebih lanjut, dia akan memiliki naluri akan perkembangan masa depan yang menanti kita.
Muhammad meninggal - Yesus hidup!
Siapapun mengikut Muhammad, mengikut sebuah agama kematian.
Siapapun mengikut Yesus, akan hidup selamanya!
Barangsiapa percaya kepada Anak, ia
beroleh hidup yang kekal,
tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak,
ia tidak akan melihat hidup,
melainkan murka Allah tetap ada di atasnya.”
(Yohanes 3:36)
11.05 -- Tes
Pembaca yang budiman,
Jika anda telah dengan teliti mempelajari volume ini, anda akan dengan mudah dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut. Siapa saja yang mampu menjawab 90% pertanyaan dari 11 volume dari seri ini akan menerima sebuah sertifikat penghargaan tertulis dari pusat kami tentang:
Studi Lanjutan
mengenai kehidupan Muhammad di bawah terang Injil
- sebagai sebuah penyemangat untuk pelayanan bagi Kristus di masa depan.
- Apa yang dikatakan Muhammad di dalam khotbah pada ziarah perpisahan di Mekah?
- Berapa banyak kampanye militer yang Muhammad sendiri pimpin? Berapa banyak aktifits militer yang dilaksanakan oleh orang-orang yang diperintahkan Muhammad?
- Mengapa Yusair ibn Rizam sang Yahudi dibunuh di Khay-bar? Tipuan apa yang dilakukan kaum Muslim untuk mem-buatnya tidak berdaya?
- Mengapa dan untuk tujuan apa Abu Bakr harus menegus Raafi’ ibn Abi Raafi’ seorang yang berpindah keyakinan dari ke-Kristenan ke Islam?
- Mengapa Asma’, putri Marwan, dibunuh?
- Apa yang terjadi pada Thumama?
- Berapa banyak wanita yang dinikahi Muhammad? Berapa yang masih hidup pada saat dia meninggal?
- Apa penyebab dan di mana Muhammad meninggal?
- Apa kata-kata terakhir Muhammad?
- Apa yang Umar dan Abu Bakr katakan setelah kematian Muhammad?
- Di mana dan bagaimana Muhammad dikuburkan?
Setiap peserta yang mengambil bagian dalam tes ini diijinkan untuk memanfaatkan buku yang tersedia atapun bertanya kepada orang yang ia percaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Kami menantikan jawaban tertulis anda, termasuk alamat lengkap Anda pada selembar kertas atau e-mail. Kami berdoa kepada Yesus, Tuhan yang hidup, bagi Anda, bahwa Ia akan memanggil, memimpin, menguatkan, memelihara dan menyertai anda setiap hari dalam kehidupan anda!
Dalam persatuan dengan Anda dalam pelayanan untuk Yesus,
Abd al-Masih dan Salam Falaki.
Kirimkanlah jawaban Anda ke:
GRACE AND TRUTH
POBox 1806
70708 Fellbach
Germany
Atau melalui e-mail ke:
info@grace-and-truth.net